Mohon tunggu...
Jojo Simatupang
Jojo Simatupang Mohon Tunggu... Guru - Sarjana Pendidikan | Guru | Penulis

Menjadi manfaat bagi banyak orang dan menjadi lebih baik setiap harinya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mampir ke Pesta Setan

24 Mei 2016   01:28 Diperbarui: 24 Mei 2016   01:42 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Tempat hiburan malam yang biasa disambangi oleh muda-mudi masa kini. Sumber: diskotek-bisnis.com"][/caption]

Insomnia membuat aku seperti seekor kelelawar, harus tertidur menjelang sang fajar tiba dan terbangun ketika sang fajar hampir menghilang. Aku benci, karena malam itu dunianya setan, ya setan-setan itu berkeliaran pada malam hari. Seperti ibarat sebuah pabrik yang berganti 'shift', pagi hingga petang adalah waktunya manusia dan petang hingga pagi adalah waktunya setan. Kami seolah begitu akrab ketika hidup berdampingan, tapi tentu aku sebagai manusia bukan setan yang perilakunya jahat.

Insomnia ini melanda hidupku dan terus mengusikku, aku sungguh tersiksa. Tempat tinggalku masih kampung, sehingga malam adalah waktu yang tenang. Jauh dari hingar bingar seperti di kota, Bambu Apus tempat yang tenang menurutku. Lain dengan Jakarta sana yang mungkin pukul 10.00 malam masih banyak orang-orang berlalu-lalang. Sebenarnya tempat tinggalku masih Jakarta, tapi tentu letaknya sangat jauh dari pusat kota, pinggiran tepatnya. Adat dan tradisi Betawi di wilayah ini menjagaku agar tetap berperilaku sepantasnya adat ketimuran. Ditambah profil Islam yang begitu memanusiakan manusia yang sepantasnya.

Insomnia tampaknya membunuhku, hal bodoh yang aku lakukan hanya menonton tayangan busuk. Saluran lokal membosankan, demikian saluran sebuah televisi kabel yang itu-itu saja. Aku tak juga kunjung mengantuk, aku luangkan membaca buku. Ah, bosan juga aku, buku terus mengajarkan moral-moral baik tapi akupun tak pernah lihat. Ingin rasanya aku terjun bebas seperti tokoh dalam buku-buku novel laris besutan penulis handal. Tak jarang buku tersebut diangkat dalam layar kaca, tapi lagi-lagi aku ingin jadi tokohnya.

Aku niatkan diriku menuju kota, kota indah yang gemerlap, tempat muda-mudi berbahagia. Kuda besi merah aku tunggangi, berpuluh-puluh kilometer aku tak lagi peduli. Huft, sampai juga pikirku, sebuah tempat bertuliskan Bar and KTV dengan lampu-lampu khas pohon natal, entah apa itu namanya, tak mau aku bahas. Pokoknya seperti lampu di pohon natal yang kelap kelip sejajar menghiasi gedung.

Penampilan necis dengan parfum KW a'la Louis Vuiton semerbak di seluruh tubuhku. Pakaian karet bercorak mural dengan percaya diri aku kenakan, aku tidak nyaman memang, tapi kata mantanku, aku tampak keren. Celana ketat yang membuat pahaku terjepit, sulit melangkah apa lagi harus membungkuk dan jongkok. Aku benci pakaian ini. Sepatu milikku dari toko sepatu loak di Bandung aku keluarkan, sepatu ngejreng warna hijau tanpa kaos kaki, lagi-lagi aku tidak nyaman dengan ini semua. Tapi entah mengapa, wanita-wanita melirikku dan melontarkan senyumannya. Aku suka ini!

Gaya metroseksual, dengan kancing rendah memperlihatkan bulu dada, tak hirau aku merasa seksi malam ini. Duduk di bar, menu disodorkan seorang bar tender dengan senyumannya. Tak ada minuman tanpa alkohol kecuali sebuah minuman isotonok, haha aku mulai tertawa. Necis dan metroseksual dipadukan dengan sebuah minuman isotonik? Halah, harga diriku kemana? Ku carikan dengan harga termurah, bir beralkohol rendah 5 botol, lengkap dengan rokok khas American Blend aku beli. Ah, aku tidak merasa nyaman. Aku bukan peminum apa lagi pemabuk, tapi aku memang perokok, tapi rokokku khas Indonesia, bukan Amerika. 

Sudah aku katakan budaya ketimuran membentukku, tapi apa dayaku ingin jadi tokoh dalam buku yang aku baca. Tak apalah, lagi pula Tuhan tahu apa yang aku mau, aku sampaipun pasti karena Dia mengizinkanku untuk tahu, Dia pasti tahu maksud dan tujuanku. Astaghfirulah! Semoga aku tak tergoda oleh setan-setan. Tapi, aku sebenarnya sudaj bergabung dengan setan, lihat saja, segala hal disini haram bung. Alkohol, wanita, dan musik elektro. Aku mau jadi aktor yang 'happy ending' bukan 'sad ending'. Maka aku harus pulang dan berpamitan dengan setan-setan nantinya. Jangan sampai setan malah merangkul dan menjabat tanganku, astaghfirulah.

Aku mulai mencoba menikmati, waktu hampir pukul 12 malam, musik mulai berubah. Lampu kuning meredup, ah ada tangan meraba punyaku. Bangsat! Setan tanpa atasan muncul dari kolong meja bar, setan itu tersenyum bengis. Aku tolak, ia terus merayuku, merayuku, dan merayuku. Aku bukan setan, dia setan, mereka setan, kamu setan, tapi ... mungkin aku harus jadi setan dahulu.

Tampaknya aku tak diterima keluarga setan, aku ditipunya dengan sebuah minuman arak yang ia minum sendiri. Ah, aku diberikan tagihan 50 ribu rupiah, padahal aku tak menikmati. Tidak peduli aku, cuma senyum saja agar tak rusak harga diriku. Anak-anak manusia berkumpul dengan senangnya, begitu ekspresif dan agresif, lain mungkin jika sedang berada di ruang kelas. Tindakan liar tanpa kendali, cumbu dan cium tak lagi malu-malu di mata manusia lain. Eh, aku lupa mereka itu setan, aku ini masih manusia kan?

Pukul 12 malam, mimpi buruk bagiku. Mejaku tiba-tiba terang dan naik setan kecil di atasnya, ah kurang ajar, dia menari-nari dengan iringan musik elektro lambat. Aku tidak peduli, aku coba minum saja dan nikmati rokok ini. Setan itu mungkin sadar aku ini masih manusia, mereka menyambut aku sebagai tamunya dengan cara mereka. Dibukanya pakaian mereka satu persatu, kurang ajar kataku dalam hati, beraninya mereka tanpa busana di atas minuman dan bungkus rokokku. Tidak tahu malu, mereka ini seperti binatang. Tapi, aku lupa mereka ini setan, ya setan, bukan binatang, mereka ini setan. Aku merasakan tidak nyaman. Tubuh moleknya seolah dipersembahkan padaku, aku lupa aku masih manusia, khilaf hingga tak kuasa aku lihat pria-pria datang dan menjamahnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun