Nyonya Meneer berdiri sejak 1919 dan baru ambruk belakangan. Jadi berhentilah kita meributkan hal yang tidak relevan, seperti usianya Kyai Ma'ruf Amin (MA). Kita sedang pilih pemimpin bangsa, bukan kuda pejantan.
Pun bicara pejantan, bukan usia orang yang mesti kita perhatikan. Melainkan seberapa lama dia bisa bertahan. Usia jelas bukan patokan. Kamu boleh saja tua atau muda, tapi kalo engga pernah kemana-mana dan engga pernah ketemu siapa-siapa, ya sama saja.
Orang mengatakan MA adalah pilihan yang terbaik di tengah panasnya isu agama. MA adalah pilihan terbaik demi persatuan dan kesatuan itu juga yang mereka katakan. Saya bilang itu hanya kemasan, hanya rekaan.
MA dipilih utamanya karena dia bukan ancaman. Bagi siapa? Siapa lagi kalau bukan para elit politik. Kita jangan pernah lupa, pragmatisme adalah ideologi para elit politik di Indonesia. Mereka berhitung tidak saja untuk 2019, melainkan juga untuk 2024.
Tidak seperti Prof. Mahfud MD (MMD), elit menganggap kecil kemungkinan MA akan kembali maju di 2024. Â Dengan demikian, jalan masih terbuka lebih lebar untuk para elit politik maju di Pilpres 2024, minimal sebagai Wakil Presiden. Â
Lain halnya dengan MMD, ditinjau dari segala aspek, dengan segala kelebihan dan kompetensinya, peluangnya sangat besar untuk maju lagi. Sayangnya cuma satu, dia bukan perwakilan partai, bukan pula perwakilan ormas besar di Indonesia. Jadi ngapain elit politik ngasih jalan? Lebih baik MA saja; NU, diterima semua partai dan sudah masuk usia senja.
Tentu saja mereka engga bisa ungkapin alasan sesungguhnya itu. Maka Jokowi-pun beralasan: MA bijaksana, kenyang pengalaman di lembaga politik maupun ormas. Dan tak kalah pentingnya adalah figur yang saling melengkapi: nasionalis - religius (baca: Ulama). Cakep.
Dan kitapun menerima bulat-bulat. Ada yang suka, banyak juga yang tidak suka. Mereka yang suka, tidak saja menerima tapi juga membelanya, seakan-akan pasangan itu adalah ide mereka sendiri.
"Ini demi kepentingan bangsa!", seru mereka. "Demi persatuan kesatuan bangsa!", teriaknya lagi. Iya, memang demi kepentingan dan persatuan kesatuan bangsa, tapi bangsa elit-elit politik pragmatis. Kitanya saja yang mau menerima pragmatisme berbungkus nasionalisme atau apapun lainnya yang berkesan ideal.
Sementara mereka yang tidak suka, sayangnya, banyak yang lebih karena mengaitkan MA dengan Kasus Ahok. Â Maka jawaban atas ketidaksukaan mereka menjadi sangat mudah: Ahok dan MA sudah saling memaafkan, MA sudah menjadi pendukung Jokowi, Ahok mendukung Jokowi 2 periode, kalau kamu ngotot nolak, kamu itu Ahoker sejati bukan sih? Abal-abal ya? Plastic fans?
Baik yang suka maupun yang tidak suka, sama-sama mengabaikan ada hal yang jauh lebih fundamental. Dan mereka akhirnya ribut sendiri karena hal-hal yang bersifat kemasan dan atau dangkal.
Seperti yang Jokowi bilang, MA melengkapi figur nasionalis - religius (sekali lagi baca: Ulama). Jokowi sudah melebarkan, mengeraskan dan memuluskan jalan bagi lebih masuknya agama dalam politik di Indonesia.
'Tetangga sebelah' yang memulai, tapi Jokowi yang meneruskan dan mewujudkan. Jokowi yang akan menyelesaikan pondasi dan infrastruktur bagi ketatanegaraan yang kental dengan aturan-aturan agama. Apakah itu salah? Relatif.
Tapi saya sudah bisa membayangkan, jika Jokowi - MA menang Pilpres 2019, maka komposisi baku untuk pasangan pemimpin Indonesia selanjutnya di masa mendatang adalah nasionalis - ulama. Dan bayangan itu bertolak belakang dengan satu prinsip utama saya dalam politik dan ketatanegaraan di Indonesia.
Pemuka agama jangan bermain politik. Wasit jangan jadi Pemain. Bisa hancur dunia persilatan. Apa tidak cukup kita belajar dari yang terjadi di Timur Tengah?
Itu adalah pandangan pribadi, dan prinsipil buat saya, sekaligus jadi alasan untuk tidak saja menolak, tapi juga mencegah itu terjadi. Itu karena saya berpegangan pada nilai, ideologi dan bukan berpegangan pada figur. Figur bisa berubah, bisa mati. Sementara ideologi akan abadi.
Jakarta, 12 Agustus 2018
Kristo Suryonegoro
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H