“Kita ciptakan harmoni,” kata Arga sambil tersenyum. “Sebab melodi yang paling indah adalah melodi yang dimainkan bersama.”
Dan di malam itu, di antara bintang-bintang yang berkelip, dua melodi yang sebelumnya terluka mulai menyatu. Harmoni yang mereka ciptakan tidak sempurna, namun indah dalam ketidaksempurnaannya. Karena mereka tahu, dalam setiap hati yang terluka, masih ada nada yang siap dimainkan kembali—selalu ada harmoni yang menunggu untuk ditemukan.
“Melodi yang paling indah adalah melodi yang dimainkan bersama.”
Chapter 6
Simfoni di Balik Kesunyian
Malam terus menyelimuti kota dengan tenangnya, sementara Alana dan Arga duduk bersebelahan, membiarkan gitar mereka menjadi jembatan di antara dua jiwa yang pernah terluka. Suara petikan gitar itu mengalun lembut, membaur dengan angin malam yang membawa keheningan. Namun, tidak ada kesunyian dalam jiwa Alana—untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan kehangatan di dalam hatinya. Musik yang dulu hilang kini mulai kembali berpendar, membawanya ke tempat yang lebih damai.
Alana tersenyum tipis saat melihat jemarinya menari di atas senar gitar. Meskipun masih terasa kaku, ada rasa percaya diri yang perlahan tumbuh. “Aku tidak pernah menyangka bahwa aku bisa bermain lagi,” ujarnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Arga memandangnya dengan senyum penuh pengertian. “Setiap orang memiliki musik dalam dirinya, Alana. Kau hanya perlu waktu untuk menemukannya lagi. Dan ketika kau melakukannya, semua akan terasa lebih ringan, lebih nyata.”
Alana terdiam, menyerap kata-kata itu. Dia tahu Arga benar. Musik bukan hanya tentang nada yang terdengar, tapi juga tentang perasaan yang tersimpan di baliknya. Dalam keheningan, ada simfoni yang menunggu untuk diungkapkan.
“Apa kau selalu bermain sendiri?” tanya Alana setelah beberapa saat, menatap Arga dengan tatapan penasaran. “Aku jarang melihatmu dengan orang lain.”
Arga berhenti sejenak sebelum menjawab, wajahnya berubah sedikit lebih serius. “Awalnya, iya. Setelah kehilangan orang yang kucintai, aku merasa musik hanyalah milikku sendiri, sesuatu yang tak bisa kubagi dengan orang lain. Tapi kemudian aku sadar, kesunyian itu semakin dalam jika aku tak membiarkan orang lain mendengarkan melodi yang kusimpan.” Ia menoleh, menatap Alana dengan tatapan yang lembut namun penuh makna. “Dan kau, Alana… Kau membuatku ingat bahwa musik lebih indah saat dibagi.”
Perkataan Arga menyentuh hati Alana. Ada sesuatu dalam cara pria itu berbicara—sesuatu yang membuatnya merasa seolah-olah mereka terhubung lebih dari sekadar melodi. Arga bukan hanya mengajarinya untuk mendengarkan musik lagi, tetapi juga mengingatkan Alana bahwa ada lebih banyak keindahan yang bisa ia temukan jika ia berani membuka diri.