Pria itu berhenti memetik gitarnya, memandang Alana dengan tatapan lembut namun penuh rasa ingin tahu. "Ada apa?"
Alana menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. "Kau bilang kau juga kehilangan nadamu dulu... Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang membuatmu seperti ini?"
Arga terdiam sejenak, pandangannya beralih pada gitarnya yang telah usang. Jemarinya menyentuh senar-senar itu perlahan, seolah mengenang sesuatu yang jauh di masa lalu. "Dulu, aku juga seperti kamu," ujarnya pelan. "Aku pernah mencintai seseorang dengan seluruh hatiku. Dia adalah inspirasiku, melodi hidupku. Tapi ketika dia pergi, rasanya seperti semua musik dalam hidupku ikut menghilang. Aku mencoba melupakan, mencoba menutup semua perasaan itu, tapi semakin aku menolak untuk merasakannya, semakin jauh aku tenggelam dalam kehampaan."
Alana mendengarkan dengan seksama, hatinya tersentuh oleh pengakuan Arga. Ia tahu betul bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang begitu berarti, bagaimana luka itu terus membekas, meski waktu berlalu.
“Lalu bagaimana kau bisa menemukan melodi itu lagi?” tanya Alana, suaranya bergetar sedikit. “Apa yang membuatmu kembali bermain?”
Arga tersenyum tipis, meski matanya tetap memancarkan kesedihan yang dalam. "Aku menyadari satu hal: melodi hidupku tidak tergantung pada orang lain. Cinta itu indah, tetapi kehilangan cinta bukan berarti kita kehilangan seluruh diri kita. Musik itu, melodi itu, selalu ada dalam diri kita, terlepas dari siapa yang datang atau pergi. Aku memutuskan untuk memainkan gitarku lagi, bukan untuk orang lain, tapi untuk diriku sendiri. Untuk kembali menemukan siapa diriku sebenarnya."
Alana terdiam. Kata-kata Arga menembus jauh ke dalam hatinya. Selama ini, ia berpikir bahwa melodi hidupnya hilang karena seseorang yang pernah ia cintai pergi. Namun kini ia menyadari bahwa melodi itu adalah miliknya sendiri, sesuatu yang tak bisa diambil oleh siapa pun, kecuali dirinya.
Dengan hati yang mulai terbuka, Alana berkata, "Aku juga merasa seperti itu. Aku selalu berpikir bahwa ketika aku kehilangan dia, aku kehilangan segalanya. Tapi sekarang aku mengerti... mungkin yang hilang hanyalah arahku, bukan melodiku."
Arga tersenyum lebar kali ini, senyum yang penuh pengertian. "Tepat sekali. Hidup ini seperti sebuah lagu. Ada bagian-bagian yang indah, ada bagian yang penuh kesedihan, tapi melodi itu terus berlanjut. Kau hanya perlu memainkan nada berikutnya."
Mendengar itu, Alana merasa hatinya lebih ringan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak merasa terbebani oleh masa lalu. Ia merasa bahwa dirinya mampu menciptakan melodi baru, melodi yang berasal dari kedalaman hatinya sendiri.
Malam itu, di bawah langit yang mulai berbintang, Arga mengajak Alana untuk memainkan sesuatu bersama. Ia menyerahkan gitar kecil lain yang selama ini dibawanya di dalam tas. Dengan canggung, Alana menerima gitar itu, meskipun ia tidak pernah merasa cukup percaya diri untuk bermain di depan orang lain. Namun, ada sesuatu dalam cara Arga memandangnya yang membuatnya merasa aman.