Sementara itu, Arga terus memainkan gitarnya, seolah mengiringi perjalanan Alana untuk menemukan dirinya kembali. Setiap nada yang ia petik terdengar seirama dengan kata-kata yang ditulis Alana. Mereka tak berbicara, tapi dalam kebisuan itu, ada sebuah komunikasi yang jauh lebih dalam. Mereka sedang menciptakan sesuatu bersama—harmoni yang muncul dari jiwa yang saling memahami.
Setelah beberapa saat, Alana berhenti menulis dan menatap hasil karyanya. Meski hanya beberapa kata, ada perasaan lega yang merayap di dalam dirinya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa ada sesuatu yang hidup dalam dirinya, sesuatu yang selama ini tertidur.
“Aku mulai mendengarnya,” ucap Alana pelan, suaranya nyaris tak terdengar. “Nada yang selama ini hilang... Aku mulai mendengarnya lagi.”
Arga tersenyum, lalu menunduk, kembali fokus pada gitarnya. “Harmoni itu selalu ada, Alana. Kau hanya perlu percaya bahwa meskipun dunia ini penuh dengan kebisingan, melodi yang sebenarnya tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu untuk ditemukan kembali.”
Alana menutup bukunya dengan perasaan yang sedikit lebih ringan. Mungkin, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia benar-benar merasa bahwa dirinya bisa sembuh. Bukan dengan melupakan apa yang terjadi, tetapi dengan menerima bahwa hidupnya adalah sebuah simfoni yang tak sempurna—tetapi indah dalam ketidaksempurnaannya.
Dan di bawah langit yang mendung namun damai, Alana akhirnya menyadari satu hal penting: "Setiap hati yang terluka masih memiliki melodi tersendiri."
Chapter 5
Senar yang Tertaut
Waktu berlalu dengan lambat di hari-hari setelah pertemuan Alana dan Arga di taman itu. Setiap pagi, Alana membawa buku catatannya, menduduki bangku yang sama, dan mendengarkan gitar Arga mengisi udara dengan melodi yang semakin akrab. Meski tidak banyak kata yang terucap di antara mereka, ada ikatan yang terbentuk—sesuatu yang dalam namun tak butuh penjelasan. Mereka tak lagi hanya dua orang asing yang bertemu di bawah hujan; mereka adalah dua jiwa yang saling menemani dalam perjalanan menemukan harmoni yang hilang.
Di tengah alunan musik yang dimainkan Arga, Alana mulai menulis lagi. Setiap kata yang ia tulis terasa seperti satu langkah lebih dekat menuju kesembuhan. Semakin ia menulis, semakin ia bisa mendengar nada yang selama ini hilang. Namun, ada sesuatu yang terus mengganjal hatinya—sebuah pertanyaan yang belum berani ia tanyakan pada Arga, namun kini tak bisa ia abaikan lagi.
Suatu sore, saat matahari hampir tenggelam di balik gedung-gedung kota, Alana akhirnya membuka suara. "Arga..." panggilnya pelan.