Mohon tunggu...
Kristiyanto
Kristiyanto Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Pamulang Prodi Akuntansi

Seorang yang Sedang mencari jati diri dan jodoh sejati, dan sedang mencoba untuk belajar menulis sebuah artikel , hobinya makan dan mencari inspirasi

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Lentera di Bawah Awan

13 September 2024   09:14 Diperbarui: 14 September 2024   23:25 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tepat ketika ia akan beranjak pergi, sebuah suara lembut terdengar dari sudut lain jalan. Tidak jauh dari sana, di sebuah taman kecil, melodi gitar yang sama mengalun, meski kali ini lebih halus, hampir seperti bisikan. Alana merasa hatinya bergetar. Ia mengikuti suara itu, langkahnya lebih cepat dari sebelumnya, seolah takut melodi itu akan lenyap jika ia terlambat.

Di bawah pohon besar yang rindang, di atas bangku taman, pria itu duduk, kembali memainkan gitarnya dengan tatapan yang tenang namun dalam. Alana menghampiri dengan hati-hati, mencoba menahan perasaan yang bergejolak dalam dirinya. Ia ingin bicara, namun entah kenapa kata-kata sulit keluar.

Pria itu menoleh, menyadari kehadirannya. Senyum tipis muncul di wajahnya, seakan mengerti kenapa Alana kembali tanpa harus bertanya. “Kamu datang lagi,” ucapnya sambil memetik senar gitar, kali ini dengan nada yang lebih cerah.

Alana hanya mengangguk, merasa jantungnya berdetak cepat. “Lagu itu… sepertinya aku pernah mendengarnya sebelumnya,” gumamnya, meski ia sendiri tak yakin mengapa ia mengucapkannya.

Pria itu memandangnya sejenak, lalu menghela napas. “Setiap orang punya lagu dalam hidupnya. Lagu yang unik, yang hanya mereka yang bisa dengar. Kadang lagu itu terkubur oleh kebisingan, oleh kehilangan… Tapi melodi itu tak pernah hilang. Hanya menunggu untuk ditemukan kembali.”

Alana terdiam, meresapi kata-kata itu. Ia memikirkan semua yang hilang dalam hidupnya—cinta yang pergi, impian yang terputus, dan lagu-lagu yang dulu ia tulis tapi kini telah sunyi. Mungkin, pria ini benar. Mungkin melodi hidupnya masih ada, hanya terpendam oleh luka yang belum sembuh.

“Setiap orang punya lagu dalam hidupnya…” kalimat itu terus berulang di pikirannya. Pria itu seolah menyentuh sesuatu yang paling dalam dalam dirinya—sebuah perasaan yang selama ini ia coba abaikan.

“Kenapa kau memainkan lagu itu?” tanya Alana tiba-tiba, suara penuh rasa ingin tahu.

Pria itu berhenti sejenak, pandangannya jauh. “Karena aku juga pernah kehilangan nadaku sendiri,” jawabnya perlahan. “Dan seperti kamu, aku mencarinya kembali.”

Mereka terdiam sejenak, membiarkan angin pagi mengalir di antara mereka, membawa suara-suara halus yang tak terdengar. Ada sesuatu yang mengikat mereka, bukan hanya karena musik, tapi karena mereka sama-sama memahami apa artinya kehilangan—dan berusaha menemukan jalan kembali.

Pria itu memetik gitarnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih dalam, lebih hangat. "Tidak ada yang benar-benar hilang," katanya pelan. "Hanya tersembunyi, menunggu untuk ditemukan kembali."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun