Pria itu menggeser kursi ke samping kanan, sambil mempersilahkan waiter laki-laki menaruh minuman beserta sepiring makanan. Terdengar kata terimakasih serta senyum manis dari wajahnya.
Tak lama dia menawari sebelum menyantap pesanannya. Sambil memainkan gawai, dia sangat menikmati hidangan itu. Tanpa sadar aku memerhatikan gerak-geraknya.
Tiba-tiba tenggorokan gatal, spontan batuk hingga tiada henti. Pria itu menawari minuman mineral yang belum dibukanya. Dia menunggu sampai aku tenang. Dilihat jam ditangannya, sembari pamit dari meja kami.
Sontak hatiku terasa hangat dari dinginnya perhatian. Pikiran melayang membandingkan dia yang tak seperti itu. Membiarkan aku repot dengan urusan domestik. Kerja sampai larut malam. Tak pernah menemani berbagai acara.
Tiba-tiba teringat cincin di jari manis sebagai lambang ikatan kami. Kami pernah berjanji akan melewati suka dan duka bersama sampai maut memisahkan.
Spontan rekaman memori masa-masa saling berbagi terlintas, kesabarannya bila aku menghabiskan waktu bersama teman-teman sampai larut malam. Rela menemani belanja sampai berjam-jam.
Aku memandang ke arah pancuran air, terimakasih telah mengingatkan bahwa cinta sejati selalu memberi tanpa harap kembali. Aku bergegas meninggalkan café itu.
Ketika sampai di depan pintu, aku disambut dengan senyum,
“yuk kita makan.”
Ternyata dia memasak beberapa menu makanan kesukaanku.
Air mata menetes tiada henti, terasa tangan lembut itu menyeka pipi. Tubuh ini serasa dipeluk oleh cinta.