Ruangan berukuran 10 mt x 10 mtr, berdinding keramik, beraroma desinfektan. Tempat tidur paramount, meja naskas beserta kursi dan satu lemari pakaian menjadi fasilitas di sini. Tirai coklat jadi sekat dengan penghuni lainnya.
Dua gadis belia terbaring lemas di atas tempat tidur. Wajah pucat tanpa rambut serta kulit menghitam menjadi fenomena tak terhindarkan. Salah satu dari gadis itu lincah menggerakkan jari menekan keyboard laptop. Sedangkan gadis satunya tidur terlelap berselimut polkadot.
Gadis berkulit putih serta bermata cokelat itu tampak asik berbincang dengan teman –teman di media sosial. Senyuman serta gelak tawa, sesekali mewarnai rona pipinya.
Kondisi fisik membuatnya menjadi penghuni kamar 302 pav Bougenville. Keterbatasan fisik itu tak menyiutkan niat untuk terhubung dengan kawan-kawannya. Gadis itu akrab disapa Jingga
Terpaan angin, hijaunya taman serta cerahnya langit sore semakin membuat Jingga semangat. Di kamar, hanya sendirian karena sang ayah bekerja dan ibu menjaga adik yang sedang sakit. Jingga menyingkapkan korden di sebelahnya.
“Haii Chelsea, bagaimana kabarmu hari ini?” tanya Jingga pada gadis yang berbaring di sebelahnya.
“Begitulah,” jawaban singkat seraya memainkan handphone.
Jingga terdiam, menatap Chelsea.
Tak lama keluar dari bibirnya, “Cuaca cerah ya, bagaimana kalau kita bermain di taman?”
“Bermain? Apa enggak salah dengar. Apa kamu enggak malu dengan kepala botakmu?” jawab Chelsea ketus.
Spontan Jingga terbungkam.
Tiba-tiba terdengar suara, “maksud Jingga, dia ingin mengajakmu menghirup udara segar di taman. Bukankah begitu Jingga?” kata mama Chelsea menenangkan suasana.
Jingga hanya menggangguk tak berkata apa-apa.
“Kepalaku pusing. Aku mau istirahat, “ kata Chelsea lugas sambil menarik selimut menutupi kepalanya.
Mama Chelsea mengelus pundak gadis kesayangannya. Tak lama beliau menawarkan bantuan untuk mengantarkan Jingga menikmati udara di taman. Jingga merasa tidak enak sehingga meminta bantuan suster di sana.
Sore ini begitu ceria, matahari bersinar penuh cinta. Di atas kursi roda, Jingga menikmati suasana dengan ditemani anak lelaki yang sibuk menata bunga-bunga yang dipetiknya.
Tak lama, beberapa anak lain ikut berkumpul bersama Jingga dan anak lelaki itu akrab dipanggil Awan. Mereka asik merangkai bunga-bunga dan tak jarang tawa serta teriakan menemani mereka. Sama sekali tak ada rasa takut atau aneh melihat gadis berkepala gundul.
Setelah boucket itu jadi, segera diberikan pada Jingga. Spontan Jingga meneteskan airmata, tak disangka Ayumi si pendiam memeluk Jingga.
Hari mulai petang, sang suster membawa masuk Jingga ke kamar. Boucket mawar itu difoto selphie lalu segera diposting “my little angel,” begitu caption .
Kemudian Jingga mengambil secarik kertas. Dengan tinta warna-warni di kotak pensilnya, dituliskan sesuatu.
Tirai cokelat ditarik perlahan, terlihat Chelsea tiduran dengan air mata yang menetes. Jingga bingung mau memulai pembicaraan.
“Chelsea … ,” panggilnya memberanikan diri.
Chelsie tersadar, keduatangannya sibuk mengusap air mata.
Jingga melanjutkan kata-katanya, “ini ada titipan dari para sahabat. “
Chelsea menggenggam boucket mawar elok itu tanpa sepatah katapun. Tirai cokelat tertutup.
Jingga menarik nafas lega, berharap teman barunya bisa membuka hati.
“Terimakasih ya, “ ucap Chelsea singkat, saat makan malam dibagi.
Jingga terbelalak, sembari tersenyum sambil spontan mengangguk. Boucket bunga mawar itu, terpajang pada toples di atas naskas.
Sejak saat itu, tirai cokelat bukan penghalang antara Jingga dan Chelsea. Berkat cinta dari para sahabat cilik, menjadikan mereka teman berbagi.
Di kertas berwarna pink itu tertulis:
Dear kakak boci (botak cantik),
– Aku sayang kakak –
sahabat cilikmu yang imut
(Awan, Ayumi, Tiara, Niko dan Sezka).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H