Langit seakan ikut menangis, butiran hujan turun membasahi bumi. Langit seolah menemani, merasakan kesakitan yang disembunyikan. Sebagai keturunan keluarga bangsawan, masih adakah pilihan bagi masa depannya?
Rintik hujan seolah pancaran hati gadis bermata cokelat ini. Rasa pedih pilu, perasaan bersalah, marah yang tak tertahankan masih menyelimuti. Hati seolah ingin menari bersama hujan, agar rasa dapat melega. Namun apa daya, lemas tubuh tak tertahankan. Pil penenang dan sejumlah obat teman karibnya. Hanya memaku dari jendela, memandang butiran air mengguyur bumi.
Saat menatap hujan, pikirannya melayang pada moment bertemu kekasihnya. Waktu itu sepulang kantor hujan begitu deras. Semua karyawan menunggu langit cerah, namun yang ditunggu tak kunjung datang. Satu persatu karyawan rela membasahi jas, pakaian kantor serta tas agar dapat kembali ke rumah. Tanpa terkecuali, gadis ayu berambut pirang itu juga memutuskan pulang dengan berjalan kaki menuju angkot.
Tiba-tiba ada seorang pria menawarkan untuk menumpangi payung. Awalnya gadis itu menolak, namun sang pria berhasil meyakinkan dengan perkataan,
"sepertinya kita satu tujuan, naik angkot di depan sana."
Kejadian ini membuat mereka saling mengenal, semakin akrab hingga timbul perasaan cinta. Ternyata pria tersebut teman sekantornya, pegawai baru yang beda divisi dengan si gadis.
Ayu Pramusita, gadis cantik berambut pirang, tinggi semampai bak model. Mata belok dengan iris berwarna cokelat muda menambah kemolekan wajahnya. Ditunjang sifat baik hati serta mudah berkawan dengan siapa saja. Hal itu yang membuat banyak orang betah ngobrol bersamanya. Berasal dari keluarga berada, keturunan berdarah biru, nama depannya menunjukkan suatu gelar kebangsawanan.
Ayu Pramusita dan Sari Paradista, adiknya merupakan putri dari keluarga Raden Suryodiningrat. Ibunya juga keturunan ningrat serta keluarga yang sangat dihormati dalam masyarakat. Keluarga ini sangat menjunjung tinggi etika, pendidikan, budaya serta strata sosial.
Sore itu, keluarga kecil Raden Suryodiningrat berkumpul. Kesibukan masing-masing anggota keluarga membuat jarang berbincang bersama apalagi acara keluarga. Mereka berkumpul di ruang tengah, duduk di sofa merah yang dialasi karpet merah.
"Ayah akan menyampaikan hal penting yang terkait dengan masa depanmu ... Ayu, " kata Raden Suryodingrat mengawali pembicaraannya.
Semua terpaku, keheningan merasuk ruangan itu. Menjadi hal tabu bila menyela pembicaraan orangtua. Begitu peraturan tak tertulis dalam keluarga ini.
"Nduk, kemarin ayah dan ibu bertemu dengan Raden Djoyo Mangunsidi. Beliau sahabat kecil ayah, yang juga dari keturunan bangsawan serta berdarah biru. Dulu kami sering bercanda, bila punya anak akan dijodohkan, agar hubungan kami bisa menjadi persaudaraan. Impian itu akan kami wujudkan menjadi kenyataan. Besok mereka kemari sekalian membicarakan rencana pernikahan kalian, " kata sang ayah tegas.
Keheningan semakin merasuk, hanya suara jam dinding yang masih berdetak keras.
"Nyuwun sewu, ayah ... " ucap Ayu dengan logat kromo sebagai tanda penghormatan kepada orangtuanya.
Sang ibu memotong pembicaraan putrinya dengan berkata, "nduk, ayah dan ibu sangat menyayangimu. Kami ingin kamu bahagia, mendapat pasangan terbaik, menjadi kebanggaan keluarga dan meneruskan garis kebangsawanan keluarga ini. "
"Maturnuwun ayah dan ibu ingin memberikan yang terbaik buat Ayu. Nyuwun pangapunten sanget, Ayu sudah punya pilihan ... Ayu tidak bisa menerima perjodohan ini, " ucap Ayu spontan kepada bapak dan ibunya.
"Si Joan yang tidak jelas itu. Sebagai seorang ibu, aku tak akan merestui. Berasal dari latar belakang keluarga tak jelas, orangtua yang bercerai serta anak perantauan. Pendidikan yang tak setara denganmu, masih kontrak kerja, penghasilan pas-pasan. Bagaimana dengan masa depanmu nantinya?, " kata sang ibu dengan nada mulai meninggi.
Wajah Ayu pucat pasi, mendengar kata-kata sang ibu yang memojokkan kekasih hatinya.
"Bu, Joan memang bukan dari keluarga yang sempurna dan ningrat, seperti kita. Namun Joan, pribadi yang rajin beribadah, baik, tulus, rendah hati serta bertanggungjawab. Bukankah itu sudah cukup untuk menjadi syarat pendamping hidup. Bila pendidikan, dia sangat senang belajar dan rencana akan melanjutkan pendidikan di waktu dekat ini. Begitu juga dengan penghasilan, rejeki bisa kami cari bersama.
Kami yakin akan bisa mencukupi keluarga kecil kami tanpa kekurangan suatu apapun. Kami pasti tidak akan merepotkan ayah dan ibu, " kata Ayu memberikan penjelasan dengan lembut, agar orangtua menggagalkan rencananya dan merestui hubungan mereka.
Sang ayah tertawa sambil berkata, "diberi enak kok cari susah. Menjalani sebuah keluarga bukan semudah yang kamu kira. Makanya ayah dan ibumu ini, ingin mencarikan yang terbaik buat anaknya. Seorang pasangan yang baik itu harus diperhatikan latar belakang keluarga (bibit), sifat atau karakter (bobot) dan kemapanan (bebet).
Bima Chandika Abimanyu, putranya pak Mangun ini secara keluarga tak perlu ditanyakan lagi, jelas asal usulnya. Secara sifat, ayah mengenal betul mulai dari kecil, dia anak yang ramah, baik, serta taat dengan orangtua. Dia juga lulusan Harvard University, sekarang bekerja pada perusahaan di London. Untuk pendidikan dan kemapanan tak perlu diragukan lagi. Pasti kamu akan bahagia menikah dengannya. Menikah itu bukan untuk dirimu sendiri tapi menikahkan dua keluarga, " kata-kata sang ayah yang menunjukkan tetap bersikeras dengan rencananya.
Dengan wajah sedih serta tertunduk, Ayu hanya berkata, "Ayu perlu waktu. Apakah tidak ada jalan lain? Ayu ingin memutuskan pasangan hidup Ayu sendiri."
"Mungkin ini berita yang sangat berat bagimu. Tapi ayah dan ibu yakin, kamu dapat menerima dan mengerti nanti. Kamu harus ingat, Ayu dan Sari adalah pewaris keturunan ini, " kata sang ibu menenangkan anaknya.
Sari hanya mematung, seolah tak bisa berkutik untuk membantu sang kakak. Dirinya menjadi saksi bisu bersama sofa merah yang didudukinya.
Otoritas dan rasa hormat, menjadi acuan Ayu menerima pilihan orangtuanya. Perasaan cinta pada sang kekasih, rela dibuang jauh-jauh. Anak yang patuh pada perintah orangtua , agar tak seperti Malin Kundang. Mencoba berpikir positif bahwa pilihan kedua orangtuanya adalah yang terbaik. Mana ada orangtua yang memilihkan hal buruk atau menyesatkan anaknya. Setiap orangtua selalu sayang pada anaknya, mereka rela memberikan apapun walaupun seringkali pilihannya tidak sesuai dengan keinginan si anak.
Setelah menikah, Ayu ikut sang suami tinggal di London. Membuang jauh-jauh semua impian di negeri tempat kelahirannya, jauh dari orang-orang tersayang, keluarga dan sahabat. Rasa kesepian dan asing bersama dengan orang asing yang baru dikenalnya tiga bulan lalu, sempat menghinggapi batinnya. Lambat laun, Ayu berhasil beradaptasi dan belajar dari lingkungan sekelilingnya.
Sang suami sebagai kepala keluarga yang baik, mencukupi seluruh kebutuhan keluarga. Namun sayang, tak cukup baik mencukupi batin sang istri. Seringkali sang suami pulang larut malam bahkan pagi demi pekerjaan atau sekedar menghabiskan waktu bersama teman-teman di klub malam. Gaya hidup Bima di masa muda, masih diteruskannya sampai menikah. Bisa jadi dulu sebagai obat untuk mengisi rasa kesepian dan kekosongan hati saja. Tak jarang juga, bentakan dan makian menjadi makanan bagi Ayu. Sosok yang keras dan otoriter, ingin mengatur lingkungan sesuai keinginannya. Bila tak dipenuhi, kekerasan fisik menyentuh tubuh Ayu.
Ayu ingin menjadi istri yang baik, mengabdi kepada sang suami. Dia hanya mengalah, menerima semua perlakuan suaminya dan berharap sikap suamiya bisa berubah. Suatu kali, Ayu mencoba melamar pekerjaan untuk meneruskan impiannya , namun sang suami marah besar ketika mengetahui itu. Keadaan ini juga, membuat Ayu menjadi orang tertutup, pendiam dan suka murung. Dia sering pusing, lalu pingsan mendadak. Beberapa kali keluar masuk rumah sakit, namun semua hasil pemeriksaannya baik . Hingga akhirnya sang dokter merujuk pada psikiater.
Ayu menjalani pengobatan dan terapi. Setiap hari, obat-obatan mulai kapsul berwarna pink hingga tablet berwarna kuning menjadi kawannya. Pikirannya mulai tenang seusai meminum. Seminggu dua kali, serasa bertemu dengan seorang sahabat, yang dianggap juga seperti ibunya sendiri. Dia bisa bercerita mengenai apa yang dirasakan, tempat berbagi kehidupan rumahtangganya serta pemberi saran mengenai kehidupan. Setidaknya masih ada seorang sahabat di negeri asing yang masih peduli dengan dirinya.
Bima, sang suami awalnya tak terima dengan keadaan Ayu. Bima mencoba menghubungi orangtua Ayu, namun sang istri mencegah dan membujuknya untuk mengatasi masalah rumahtangga tanpa melibatkan orangtua. Itulah awal komunikasi dari hati ke hati, bagaimana Bima juga tak siap dengan perjodohan orangtuanya saat itu.
Sang suami mengungkapkan apa yang menjadi jeritan hatinya. Bima masih ingin mengejar cita-cita dan impiannya, namun apa daya impian itu dihancurkan oleh kedua orangtuanya. Sama seperti Ayu, tak punya pilihan selain patuh dan meneruskan garis keturunan. Mereka berdua menangis dan mengeluarkan emosi yang selama ini terpendam.
Lewati kejadian itu, Bima sadar, dirinya bukan satu-satunya korban. Istrinya juga mengalami hal yang sama. Dia berusaha untuk menerima semua itu dan belajar mencintai sang istri. Bila terapi sang suami mulai mau menemani serta ikut ngobrol bersama sang psikiater. Perlahan-lahan sikapnya mulai berubah, meskipun kata makian dan kasar kadang keluar dari bibirnya. Namun tak pernah lagi, tubuh Ayu mengalami kekerasan fisik. Bima juga mulai pulang tak larut malam lagi, serta kebiasaan berkumpul bersama teman-temannya mulai berkurang.
Meskipun rumahtangga mereka seperti diambang kehancuran, namun Bima dan Ayu berupaya memperbaikinya dengan belajar untuk saling menerima dan memahami. Seperti pesan orangtua mereka saat prosesi sungkem, "terus berjuang membangun cinta apapun rintangannya". Mungkin kata-kata itu yang menjadi bekal untuk menapaki kehidupan berumahtangga saat ini.
Pikiran itu menyadarkan Ayu, dihirupnya udara berbau tanah yang terkena siraman air. Sambil tersenyum menatap hujan dijendela, hatinya berkata "Setiap orangtua ingin yang terbaik buat anaknya. Mereka selalu menyayangiku dan aku juga sayang dengan mereka, seperti menyayangi diriku sendiri. Begitu juga aku akan menyayangimu, Bima." Matanya terus menatap butiran hujan yang jatuh, hingga dirinya dikejutkan oleh secangkir teh yang dibawa oleh sang suami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H