Mohon tunggu...
H K
H K Mohon Tunggu... profesional -

penikmat alam - pembaca - penggila futsal - sedang belajar menulis - penggemar bahasa prancis ..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Itu Emakku...

18 November 2013   10:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:01 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Le..!!", itu suaranya kala memanggilku yang sedari tadi masih berdiri diam di bibir pintu.
"Ya", jawabku.
"Ambilin masnya aqua dingin",

Itu ibuku menyuruhku mengambilkan segelas air putih kemasan dari dalam kulkas untuk laki-laki tadi.

Belum sampai ku kembali ke depan rumah, ibuku kembali memanggilku.
"Gak jadi le, gak mau dia".
Tapi ku sudah terlanjur membawanya ke depan.

"Ini dimakan", kata ibuku seraya menyerahkan semangkuk bakso yang baru dibuatnya kepada laki-laki itu.

Laki-laki itu menerima semangkok bakso pemberian ibuku lalu pergi dengan senyum yang terus mengembang, pergi ke arah mana dia suka. Tanpa membawa serta air yang juga disuguhkan untuknya.

Itu ibuku, wanita yang sudah mulai menua tapi masih tanpa pernah mengeluh ikut membantu bapakku mencari sesuap nasi dengan keringatnya sendiri.

Dan sekarang aku mau bercerita lebih lanjut tentang ibuku, atau aku lebih senang memanggilnya emak, lebih enak begitu, lebih terasa natural, karena sesungguhnya aku tidak pernah memanggilnya ibu, emak sudah cukup buatku.

Emak tak pernah suka melihat orang yang kelaparan ada di sekitarnya.
Pernah satu kali atau sering kali dia dengan mudahnya memberikan ekstra bakso kepada ibu-ibu yang datang membeli bakso dengan membawa lebih dari 3 anak yang terus merengek karena ibu tersebut hanya membeli 1 mangkok untuk dinikmati.

Atau kepada mereka, tukang sampah, tukang-tukang dagang, dan yang lainnya, dengan mudahnya dia menawarkan semangkok bakso atau bahkan hanya segelas air dingin sebagai penawar dahaga untuk mereka.

Hingga satu kali ku pernah berujar padanya,
"Mak kalo jualannya kaya gitu, kapan kayanya?", dan ini jawabnya dengan santai,
"Mamak mah dah tua, jadi biar kalian aja yang kaya, mamak mah gini aja dah cukup, yang penting bisa makan. Biar nanti Tuhan balasnya ke kalian aja."

Kata kalian di situ adalah aku bersama adikku yang selalu mengkritisi caranya berjualan. Tapi sepertinya emak sudah tahu kalau Tuhan tidaklah pintar matematika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun