Mohon tunggu...
Kristian Wongso
Kristian Wongso Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Ilmu Kriminologi

Pembelajar Ilmu Kriminologi, Dokter Anak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islam dan Kristen Ternyata Bisa Damai: Pelajaran dari Nigeria

15 Oktober 2015   20:39 Diperbarui: 15 Oktober 2015   20:54 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Islam dan Kristen adalah dua agama yang dipercaya berasal dari akar yang sama. Keduanya bahkan disebut sebagai Agama Abraham. Di balik beberapa kesamaan, kedua iman ini memiliki perbedaan-perbedaan teologis yang sangat mendasar.

Pada dasarnya, perbedaan bukan masalah. Masalah baru akan muncul bila perbedaan ini tak dikelola dengan baik, hingga tak jarang berujung pada konflik kekerasan.

Sayangnya, konflik kekerasan bermotif agama bukan hal imajinatif, namun merupakan hal yang jelas dan nyata di sekitar kita. Di negara kita tercinta ini, konflik kekerasan bermotif agama berulang kali terjadi. Beberapa waktu yang lalu terjadi di Tolikara, minggu ini riuh terdengar kasus serupa di Aceh. Belum lagi jika kita ungkit Ambon dan Poso.

Saya kurang tertarik untuk mencari tahu siapa yang salah dalam kasus Tolikara maupun pada kasus Aceh. Saya lebih tertarik untuk membagikan hal-hal menarik di video dokumentasi “The Imam and The Pastor”*. Banyak hal bermanfaat yang dapat kita pelajari dari video ini, ketimbang video-video berisi hasutan kebencian dan balas dendam yang terbungkus kata-kata religius.

Beberapa dekade lalu, sebuah daerah di Nigeria dilanda pertikaian saudara antara komunitas Islam dan komunitas Kristen. Layaknya pertikaian pada umumnya, korban dan kerugian berjatuhan dari kedua kubu.

Imam Ashafa adalah seorang pemuka agama Islam di daerah itu. Ia dibesarkan dalam lingkungan Muslim yang taat. Saat konflik berlangsung, ia bergabung dalam pasukan Islam. Pertikaian ini meninggalkan bekas yang makin mendalam setelah ia kehilangan dua sepupu dan seorang guru spiritual yang sangat dihormatinya. Dendam Imam Ashafa mendorongnya untuk merencanakan pembunuhan atas pemimpin-pemimpin pasukan Kristen.

Di sisi lain, Pendeta James merasa bahwa ia harus bergabung dalam pasukan Kristen untuk melindungi jemaatnya. Dalam video tersebut, ia dengan jujur mengakui rasa kebenciannya yang tanpa batas terhadap pihak Islam. Aksi perjuangannya ini menyebabkan ia harus kehilangan salah satu lengannya.

Pada suatu kali, Imam Ashafa mendengarkan khotbah mengenai kekuatan pengampunan. Saat itu, ia diingatkan kembali bahwa sesungguhnya agama yang ia yakini mengajarkan pengampunan, seperti yang dilakukan panutannya, Nabi Muhammad, saat dilempari batu oleh orang-orang yang menentangnya. Momen ini menjadi titik baliknya; dari seorang pendendam menjadi seorang pengampun. Ia belajar untuk mengampuni kelompok Pendeta James.

Pada suatu kali, Imam Ashafa dan Pendeta James berjumpa dalam sebuah pertemuan yang diadakan Pemerintah. Pendeta James menaruh banyak kecurigaaan. Ia menyangka melalui pertemuan tersebut, kubu Imam Ashafa akan mengenali wajahnya sehingga akan lebih mudah untuk dijadikan target pembunuhan.

Nyatanya pertemuan tersebut bukan berujung pembunuhan, namun kisah perjumpaan yang indah. Pada suatu kali, ibunda dari Pendeta James sakit. Imam Ashafa datang dan menjenguknya di rumah sakit. Pendeta James sangat kaget dengan perlakuan ini. Bagaimana cara bisa seorang tokoh dari pihak lawan datang menjenguk ibunya?

Hingga pada akhirnya saat ibunda dari Pendeta James meninggal, Imam Ashafa juga datang mengunjunginya. Kejadian sederhana dan nampaknya sepele ini ternyata memberikan pengaruh yang sangat besar bagi hubungan keduanya.

Walaupun begitu, Pendeta James mengaku pernah ingin membunuh Imam Ashafa saat keduanya menginap di kamar yang sama. Pendeta James mengatakan bahwa setiap kali ia tergoda untuk membunuh Imam Ashafa, dirinya seakan tidak dapat melakukannya. Hingga pada saat suatu kali ia mendengarkan khotbah mengenai Kristus yang datang membawa kasih, bukannya kebencian. Hati Pendeta James yang masih keras dengan dendam menjadi sangat hancur dan ia mulai belajar untuk meneladani panutannya, Yesus Kristus.

Sejak saat itu, keduanya menjadi sangat akrab dan bergabung mendirikan semacam lembaga dialog antaragama yang giat berkeliling untuk menyebarkan pesan perdamaian. Selain itu, istri Imam Ashafa dan istri Pendeta James juga mulai menjadi akrab. Istri-istri mereka sangat mendukung ide perdamaian yang dipromosikan oleh kedua pemuka agama juru damai tersebut. Saat bepergian bersama, anggota tim yang Kristen akan dengan senang hati menunggu rekan-rekan mereka yang melaksanakan sholat, begitu pula saat anggota tim yang Kristen menjalankan ibadah mereka di hari Minggu.

Imam Ashafa dan Pendeta James terus giat menunaikan kerinduan mereka untuk menyebarkan pesan-pesan perdamaian. Mereka percaya bahwa dalam agama yang mereka yakini sama sekali tidak ada konsep membenci, malahan ajakan untuk mengampuni dan hidup damai dengan pemeluk agama lain. Tidak ada pesan kebencian, malah pesan perdamaian.

Dalam cuplikan deklarasi perdamaian di video ini, saya sangat terkesan dengan permintaan maaf seorang ulama Muslim yang diutarakan di depan khalayak ramai. Ia mengakui bahwa selama ini pemimpin-pemimpin agama telah melakukan kesalahan dengan menyampaikan ceramah-ceramah kekerasan ketimbang pesan-pesan perdamaian.

Kita dapat menarik pelajaran-pelajaran berharga dari peristiwa di Nigeria ini yang sangat relevan dengan kondisi kita di Indonesia. Kita tahu ada ceramah-ceramah agama yang berisi pesan kebencian terhadap pemeluk agama lain. Apalagi dalam kondisi saat ini, saat masih hangat di ingatan kita tentang kasus kekerasan di Tolikara dan Aceh. Ada yang mengkafir-kafirkan pemeluk agama lain di depan umum, ada yang berdoa minta tsunami. Sudah cukup kegilaan ini.

Menarik juga bila kita amati apa yang menjadi titik balik Imam Ashafa dan Pendeta James, yang tidak lain justru ajaran agama. Banyak orang yang selalu menyalahkan keberadaan agama. Agama dipandang sebagai penyebab konflik kemanusiaan. Dari kisah ini, kita setidaknya tahu bahwa agama juga dapat meredam konflik kekerasan. Nilai-nilai agama dapat mendukung terselenggaranya nilai-nilai kemanusiaan.

Saya membayangkan bagaimana jadinya bila pihak-pihak yang sementara bertikai, baik di Aceh, Papua, Poso maupun Ambon mendengarkan pesan-pesan perdamaian diberitakan dengan begitu agungnya oleh pemuka agama mereka masing-masing. Pesan-pesan indah, seperti pengampunan dan saling mengasihi, bukannya pesan berapi-api untuk memberangus pemeluk agama lain.

Semoga di Indonesia muncul banyak pemimpin agama, baik Islam maupun Kristen, yang menyampaikan pesan-pesan perdamaian yang mendinginkan, seperti yang dilakukan Imam Ashafa dan Pendeta James.

 

*Video ini dapat disaksikan di https://www.youtube.com/watch?v=kFh85K4NFv0

#70thICRCid

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun