Islam dan Kristen adalah dua agama yang dipercaya berasal dari akar yang sama. Keduanya bahkan disebut sebagai Agama Abraham. Di balik beberapa kesamaan, kedua iman ini memiliki perbedaan-perbedaan teologis yang sangat mendasar.
Pada dasarnya, perbedaan bukan masalah. Masalah baru akan muncul bila perbedaan ini tak dikelola dengan baik, hingga tak jarang berujung pada konflik kekerasan.
Sayangnya, konflik kekerasan bermotif agama bukan hal imajinatif, namun merupakan hal yang jelas dan nyata di sekitar kita. Di negara kita tercinta ini, konflik kekerasan bermotif agama berulang kali terjadi. Beberapa waktu yang lalu terjadi di Tolikara, minggu ini riuh terdengar kasus serupa di Aceh. Belum lagi jika kita ungkit Ambon dan Poso.
Saya kurang tertarik untuk mencari tahu siapa yang salah dalam kasus Tolikara maupun pada kasus Aceh. Saya lebih tertarik untuk membagikan hal-hal menarik di video dokumentasi “The Imam and The Pastor”*. Banyak hal bermanfaat yang dapat kita pelajari dari video ini, ketimbang video-video berisi hasutan kebencian dan balas dendam yang terbungkus kata-kata religius.
Beberapa dekade lalu, sebuah daerah di Nigeria dilanda pertikaian saudara antara komunitas Islam dan komunitas Kristen. Layaknya pertikaian pada umumnya, korban dan kerugian berjatuhan dari kedua kubu.
Imam Ashafa adalah seorang pemuka agama Islam di daerah itu. Ia dibesarkan dalam lingkungan Muslim yang taat. Saat konflik berlangsung, ia bergabung dalam pasukan Islam. Pertikaian ini meninggalkan bekas yang makin mendalam setelah ia kehilangan dua sepupu dan seorang guru spiritual yang sangat dihormatinya. Dendam Imam Ashafa mendorongnya untuk merencanakan pembunuhan atas pemimpin-pemimpin pasukan Kristen.
Di sisi lain, Pendeta James merasa bahwa ia harus bergabung dalam pasukan Kristen untuk melindungi jemaatnya. Dalam video tersebut, ia dengan jujur mengakui rasa kebenciannya yang tanpa batas terhadap pihak Islam. Aksi perjuangannya ini menyebabkan ia harus kehilangan salah satu lengannya.
Pada suatu kali, Imam Ashafa mendengarkan khotbah mengenai kekuatan pengampunan. Saat itu, ia diingatkan kembali bahwa sesungguhnya agama yang ia yakini mengajarkan pengampunan, seperti yang dilakukan panutannya, Nabi Muhammad, saat dilempari batu oleh orang-orang yang menentangnya. Momen ini menjadi titik baliknya; dari seorang pendendam menjadi seorang pengampun. Ia belajar untuk mengampuni kelompok Pendeta James.
Pada suatu kali, Imam Ashafa dan Pendeta James berjumpa dalam sebuah pertemuan yang diadakan Pemerintah. Pendeta James menaruh banyak kecurigaaan. Ia menyangka melalui pertemuan tersebut, kubu Imam Ashafa akan mengenali wajahnya sehingga akan lebih mudah untuk dijadikan target pembunuhan.
Nyatanya pertemuan tersebut bukan berujung pembunuhan, namun kisah perjumpaan yang indah. Pada suatu kali, ibunda dari Pendeta James sakit. Imam Ashafa datang dan menjenguknya di rumah sakit. Pendeta James sangat kaget dengan perlakuan ini. Bagaimana cara bisa seorang tokoh dari pihak lawan datang menjenguk ibunya?
Hingga pada akhirnya saat ibunda dari Pendeta James meninggal, Imam Ashafa juga datang mengunjunginya. Kejadian sederhana dan nampaknya sepele ini ternyata memberikan pengaruh yang sangat besar bagi hubungan keduanya.