“Yakin mau berangkat jam segini?”
“Ya, berangkat sekarang saja. Takut telat nanti.”
“Ini terlalu pagi untuk berangkat. Nanti kamu keburu bosan di sana.”
“Tidak apa, lebih baik kepagian daripada kesiangan.”
Dan akhirnya saya dengan niat sendiri keluar rumah jam 06.00 pagi. Karena saya sangat parno telat, apalagi kali ini saya akan menuju ke tempat yang belum pernah saya datangi sebelumnya, maka saya memilih untuk naik taksi saja.
Keletihan saya akibat kurang tidur semalam (entah karena terlalu semangat atau terlalu cemas) pagi itu tidak terasa. Jantung berdegup sembari rasa penasaran memuncak. Penasaran seperti apa rupa para peserta Pemilihan Koko Cici Jakarta 2013.
Lagi-lagi idiom “Perkataan ibu selalu benar” kembali terbukti. Saya tiba di Kantor Walikota Administrasi Jakarta Barat pada pukul 06.30. Hari itu hari Sabtu. Sangat wajar saja bila lalu lintas terlalu bersahabat dengan saya pagi itu.
Saya bingung apa yang harus saya lakukan untuk menunggu datangnya jam 08.00, jam yang ditentukan sebagai awal audisi. Akhirnya saya duduk menunggu sambil sarapan di salah satu restoran cepat saji yang terletak persis di depan kantor pemerintahan itu.
Saat sedang menenggak kopi, sebuah pertanyaan mendasar terlintas di pikiran saya: “Apa kamu yakin ikut kompetisi ini?” Saya terdiam sejenak. Dan saya kemudian kembali makan.
Koko Cici Jakarta adalah duta pariwisata Jakarta yang mengkhususkan diri untuk pelestarian budaya Tionghoa, berbeda dengan kakaknya, Abang None Jakarta, yang lebih fokus ke budaya Betawi. Mengikuti kompetisi duta pariwisata memang sama sekali tidak berhubungan dengan latar belakang pendidikan saya. Tapi saya ingin mempelajari bidang lain selain bidang saya, karena saya sadar bahwa kita bisa belajar dari sumber mana saja.
Saya mengikut kompetisi ini bukan karena saya keturunan Tionghoa, tapi karena saya memiliki ketertarikan terhadap budaya Tionghoa. Masa kecil saya dihabiskan di bagian timur Indonesia yang tentu saja tidak diwarnai budaya Tionghoa yang marak seperti di Jakarta ini. Akan tetapi, ibu saya sering menyanyikan lagu-lagu Mandarin sedari saya masih SD. Semenjak itu, minat terhadap kebudayaan Tionghoa sudah mulai tumbuh.
Apakah budaya Tionghoa lebih tinggi dari budaya lain, misalkan budaya Tionghoa? Sama sekali tidak. Tiap budaya memiliki kekhasannya masing-masing dan saya percaya bahwa budaya Tionghoa tidak lebih tinggi daripada budaya lain.
Tak terasa jam menunjukkan pukul 08.00 kurang beberapa menit. Saya segera menuju ke tempat audisi. Saat menunggui lift, saya melihat beberapa orang muda yang berpakaian rapi. Mereka bertanya apakah saya peserta audisi. Ternyata mereka adalah panitia. Koko Cici senior tersebut kemudian menunjukkan saya letak ruang audisinya.
Sesampai saya di lantai 17, kira-kira ada sekitar sepuluh anak muda, yang menurut saya merupakan peserta audisi. Setelah registrasi ulang, saya kemudian duduk di salah satu bangku kosong di ruang tunggu.
Sebelum saya lupa, saya ingin mengingatkan bahwa busana yang kita kenakan pada saat audisi juga akan dinilai. Bukan dituntut berpakaian yang mewah, namun haruslah rapi. Jangan lupa bahwa kita sedang berada di Kantor Walikota. Tentu kurang arif jika kita mengenakan celana pendek, apalagi sendal jepit di tempat seresmi itu.
Saya cukup terintimidasi menyaksikan banyak peserta lain yang kelihatannya lebih unggul dari sisi penampilan. Tapi saya tahu bahwa kompetisi ini bukanlah kompetisi modellling. Yang dicari adalah satu paket brain, beauty, behavior, dan talent.
Tapi rasanya jauh lebih mengintimidasi setelah saya menyadari ada beberapa peserta audisi yang datang membawa alat musik. Sedangkan saya, hanya membawa tangan yang paling tinggi bisa saya pakai untuk tepuk tangan saja. Saya hanya bisa berusaha untuk tetap tenang.
Akhirnya nomor urut saya dipanggil. Tibalah giliran audisi saya. Ada tiga pos penilaian:
A) Pos pengukuran tinggi dan berat badan
Pos ini lancar-lancar saja.
B) Pos wawancara
Saya dipanggil masuk ke dalam satu ruangan yang berada beberapa Koko Cici senior. Pertanyaan beragam, dimulai dari perkenalan diri hingga alasan mengikuti kompetisi ini. Tak lupa juga, mereka meminta saya untuk memperkenalkan diri dalam Bahasa Mandarin. Saya memperkenalkan diri dengan sederhana dan hanya menggunakan kosakata yang saya pahami. Saya menjawab semua pertanyaan apa adanya sesuai diri saya. Setelah selesai diwawancara, saya dipersilahkan untuk pindah ke ruang berikutnya.
C) Pos bakat
Ini adalah pos yang paling menantang dan paling memicu adrenalin dibanding pos-pos sebelumnya. Setelah diminta perkenalan diri singkat, juri audisi meminta saya menampilkan bakat saya. Jujur, saya merasa tidak terlalu percaya diri dengan apa yang akan saya lakukan. Tapi menurut saya, saya harus mencobanya. Jika saya tidak mencobanya, pasti saya nantinya akan menyesal kenapa saya tidak mencoba.
Saya sudah tidak peduli lagi apakah penampilan saya nantinya akan memberi nilai tambah dalam penjurian atau malah menjatuhkan. Intinya saya hanya ingin mencoba. Sensasi audisi seperti ini kapan lagi bisa saya dapatkan.
Setelah memberikan penampilan saya, saya merasa sangat lega. Lega karena setidaknya saya sudah mencoba. Seorang panitia mengatakan bahwa pengumuman peserta yang lolos akan diumumkan melalui media sosial keesokan harinya. Saya keluar ruangan audisi dengan perasaan yang sangat amat lega. Perasaan lega yang menandakan keluputan saya dari penyesalan berkepanjangan. Sepanjang jalan kembali ke rumah, saya hanya tersenyum puas.
Keesokan harinya, saya di-ping seorang teman yang juga mengikuti audisi. Ia mengucapkan selamat karena saya lolos ke semifinal. Saya masih tidak percaya. Namun, saya harus menyiapkan diri untuk audisi semifinal yang pastinya akan lebih ketat karena hanya akan memilih setengah dari semifinalis.
Proses audisi lebih ketat karena tiap semifinalis akan dihadapkan dengan tujuh juri:
A) Psikologi
B) Penampilan dan kepribadian
C) Komunikasi
D) Pengetahuan pemerintahan
E) Bahasa dan kebudayaan Tionghoa
F) Kemampuan berbahasa asing
G) Pengetahuan kepariwisataan.
Kebahagiaan saya berlanjut karena saya lulus audisi seminfinal, dan masuk dalam kelompok finalis Koko Cici Jakarta 2013.
Ini adalah awal, karena saya bersama rekan-rekan harus menjalani karantina yang memakan waktu sekitar tiga minggu. Banyak pelajaran baru yang saya dapatkan di sini. Saya merasa menjadi orang yang berbeda dibanding sebelum saya mengikuti kompetisi ini. Banyak orang berpikir bahwa dengan mengikuti kompetisi Koko Cici Jakarta, maka rasa nasionalismenya akan diragukan. Namun saya merasa sebaliknya. Kompetisi ini justru menyadarkan saya bahwa saya adalah bagian dari bangsa Indonesia dan budaya Tionghoa adalah salah satu dari beragam-ragam kekayaaan budaya bangsa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H