Senja kali ini tidaklah seperti Senja hari-hari kemarin. Ia tersendiri dalam kisahnya dan kisahku. Pada Senja yang awalnya tempat orang beradu kaku atas kisah-kisah yang kelabu.  Dan sore ini Senja kembali membentuk ruang-ruang paling sendu. Ketika jiwa dan ragaku terpisah jauh. Jiwa terhempas. Seperti butiran-butiran pasir yang tak berdaya karena terhempas oleh kejamnya gelombang tasik yang selalu menderu.
      Di pojok biara yang amat sepi ini kukumpulkan segala rasaku yang telah terpisah oleh kabar dari jauh yang membuat aku terlempar jauh dari dunia. Senja kali ini yang paling sadis. Ia lebih sadis dari tusukan sebilah pisau. Kutatap selembar foto yang telah usang dimakan waktu. Kertasnya telah kusam. Namun, gambar yang terpampang pada kertas itu tidak pernah pudar dan punah. Gurat senyum pada bibir yang kian keriput tetap abadi.
       Setelah sekian lama kumenatapnya, bulir-bulir murni mulai tercipta pada kedua mataku. Pelan kristal air itu bergulir menggelinding. Membentuk parit di pipi. Membentuk gurat kemilau di lesung. Tetes air itu terdiam sejenak di dagu. Menumpuk. Membesar. Kemudian dalam gerakan lambat yang memesona terlepas! Perlahan. Deras menghantam sehelai foto yang kupegang. Kemudian kertas itu dilumuri air rindu. Gemuruh rindu di hatiku serupa tasik yang menderu tiada henti.
      Kini diriku diliputi oleh rasa sakit yang paling ngeri. Ragaku yang tegar kini lemah terkulai di bawah rindu tentang ia mengadakanku. Butir-butir air mata tidak behenti melintas pipiku. Ia saja setia melintas tanpa ada rasamu. Dan butiran-butiran bening dari langit mulai jatuh perlahan. Awalnya hanya sedikit. Namun, lama-lama ia menghujam bumi dengan ganasnya. Dan senjapun perlahan menghilang ketika hujan menghantam bumi. Ia pergi tanpa sedikit pamit dari padaku.
      Senja yang sama di tempat yang lain, seorang bayi mungil tubuhnya masih murni. Ia dihantar dan dilepaskan di atas gardus yang baru dibuang oleh seorang pemilik toko. Ia ditinggalkan begitu saja. Sehelai kain yang kecil membaluti tubuh mungilnya.  Ia terus merengek karena dinginya bumi. Tubuh mungilnya tak mampu menahan setiap tamparan angin.  Dosa apakah yang ada pada anak ini sampai ia harus menderita seperti ini? Siapakah yang membuangnya?  Ada sebuah tanda di balik semua tanyaku.Di sampingnya dititpkan sebuah foto dari seorang wanita yang membawanya.  Pada gambar tersebut  terpampang wajah yang kusam dimakan waktu. Gurat wajah tua yang menimbulkan seribu tanya dariku. Apakah ini ibunya? Namun, aku tidak yakin bahwa ia ibunya. Tidak mungkin ibu dari bayi ini. Anak itu terus menangis tiada henti. Aku mencoba menenangkannya. Tetapi, ia terus saja merengek. Raut wajah mungilnya meminta untuk memelas. Kemudian kuambil anak itu dan mengendongnya lalu kubawa ia ke rumah. Sesampainya di rumah aku langsung membaringkannya di atas kasur dan hangatnya kasur menenangkannya. "Sungguh malang nasib anakmu nak," gumamku.
****
"Ini siapa?" tanya istriku yang diliputi rasa bingung dan takut pada wajah dan matanya. Suaranya yang besar membangunkan bayi itu yang masih bermimpi. Ia menangis. Aku langsung buru-buru menenangkannya. Ku elus-elus kepalanya yang belum tumbuh rambut. Ia diam dan kembali melanjutkan mimpinya. Ia kembali tidur. Kemudian kubaringkan ia di tempat sebelumnya. Beberapa saat kemudian aku menceritakan kepada istriku tentang bayi itu. Kala itu Senja telah menuju peraduannya. Perlahan gelap mulai merajai bumi. Dan anak itu tidur terlelap. Aku dan istriku bersepakat untuk mengadopsinya. Kebetulan kami belum dikaruniai buah hati oleh Tuhan. Mungkin  ini cara Tuhan  untuk kami, pikirku. Beberapa hari kemudian kami mengurus semua berkas-berkas berkaitan dengan aturan mengadopsi seorang anak. Setelah semuanya selesai, kami mendapatkan hak yang legal untuk mengadopsinya.
****
      Mark. Itulah nama yang disematkan kepada bayi mungil itu. Kini, ia bertumbuh besar. Ia telah melalui berbagai rintangan hidup yang begitu kejam. Namun, ia tetap tegar dalam menghadapi semuanya. Doa adalah kekuatan. Baginya segala sesuatu dikerjakan dengan doa. Doa menjadi senjata paling ampuh dalam menghadapi segalanya. Semua itu merupakan hasil dari didikanku yang sederhana. Namun, cara sederhana membuat ia mengerti segala sesuatu. Kami mendidiknya seperti anak kami sendiri. Tidak ada yang dispesialkan antara  dia dam Mattew yang merupakan buah hatiku sendiri. Kami membagi cinta kami kepada mereka secara rata. Dan hal yang menjadikanku sedih adalah ketika ia selalu menayakan, mengapa ia berbeda dengan adiknya? Pertanyaan ini menjadi hantu dalam setiap mimpiku. Aku tak mampu memberikannya jawaban yang sebenarnya kepada dia. Sehingga aku selalu menyembunyikan hal itu kepadanya.