Mohon tunggu...
Tiano Garman
Tiano Garman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pecinta Kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nama Wanita Itu adalah Maria

31 Oktober 2024   20:47 Diperbarui: 31 Oktober 2024   21:00 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Senja kali ini tidaklah seperti Senja hari-hari kemarin. Ia tersendiri dalam kisahnya dan kisahku. Pada Senja yang awalnya tempat orang beradu kaku atas kisah-kisah yang kelabu.  Dan sore ini Senja kembali membentuk ruang-ruang paling sendu. Ketika jiwa dan ragaku terpisah jauh. Jiwa terhempas. Seperti butiran-butiran pasir yang tak berdaya karena terhempas oleh kejamnya gelombang tasik yang selalu menderu.

            Di pojok biara yang amat sepi ini kukumpulkan segala rasaku yang telah terpisah oleh kabar dari jauh yang membuat aku terlempar jauh dari dunia. Senja kali ini yang paling sadis. Ia lebih sadis dari tusukan sebilah pisau. Kutatap selembar foto yang telah usang dimakan waktu. Kertasnya telah kusam. Namun, gambar yang terpampang pada kertas itu tidak pernah pudar dan punah. Gurat senyum pada bibir yang kian keriput tetap abadi.

              Setelah sekian lama kumenatapnya, bulir-bulir murni mulai tercipta pada kedua mataku. Pelan kristal air itu bergulir menggelinding. Membentuk parit di pipi. Membentuk gurat kemilau di lesung. Tetes air itu terdiam sejenak di dagu. Menumpuk. Membesar. Kemudian dalam gerakan lambat yang memesona terlepas! Perlahan. Deras menghantam sehelai foto yang kupegang. Kemudian kertas itu dilumuri air rindu. Gemuruh rindu di hatiku serupa tasik yang menderu tiada henti.

            Kini diriku diliputi oleh rasa sakit yang paling ngeri. Ragaku yang tegar kini lemah terkulai di bawah rindu tentang ia mengadakanku. Butir-butir air mata tidak behenti melintas pipiku. Ia saja setia melintas tanpa ada rasamu. Dan butiran-butiran bening dari langit mulai jatuh perlahan. Awalnya hanya sedikit. Namun, lama-lama ia menghujam bumi dengan ganasnya. Dan senjapun perlahan menghilang ketika hujan menghantam bumi. Ia pergi tanpa sedikit pamit dari padaku.

            Senja yang sama di tempat yang lain, seorang bayi mungil tubuhnya masih murni. Ia dihantar dan dilepaskan di atas gardus yang baru dibuang oleh seorang pemilik toko. Ia ditinggalkan begitu saja. Sehelai kain yang kecil membaluti tubuh mungilnya.  Ia terus merengek karena dinginya bumi. Tubuh mungilnya tak mampu menahan setiap tamparan angin.  Dosa apakah yang ada pada anak ini sampai ia harus menderita seperti ini? Siapakah yang membuangnya?  Ada sebuah tanda di balik semua tanyaku.Di sampingnya dititpkan sebuah foto dari seorang wanita yang membawanya.  Pada gambar tersebut  terpampang wajah yang kusam dimakan waktu. Gurat wajah tua yang menimbulkan seribu tanya dariku. Apakah ini ibunya? Namun, aku tidak yakin bahwa ia ibunya. Tidak mungkin ibu dari bayi ini. Anak itu terus menangis tiada henti. Aku mencoba menenangkannya. Tetapi, ia terus saja merengek. Raut wajah mungilnya meminta untuk memelas. Kemudian kuambil anak itu dan mengendongnya lalu kubawa ia ke rumah. Sesampainya di rumah aku langsung membaringkannya di atas kasur dan hangatnya kasur menenangkannya. "Sungguh malang nasib anakmu nak," gumamku.

****

"Ini siapa?" tanya istriku yang diliputi rasa bingung dan takut pada wajah dan matanya. Suaranya yang besar membangunkan bayi itu yang masih bermimpi. Ia menangis. Aku langsung buru-buru menenangkannya. Ku elus-elus kepalanya yang belum tumbuh rambut. Ia diam dan kembali melanjutkan mimpinya. Ia kembali tidur. Kemudian kubaringkan ia di tempat sebelumnya. Beberapa saat kemudian aku menceritakan kepada istriku tentang bayi itu. Kala itu Senja telah menuju peraduannya. Perlahan gelap mulai merajai bumi. Dan anak itu tidur terlelap. Aku dan istriku bersepakat untuk mengadopsinya. Kebetulan kami belum dikaruniai buah hati oleh Tuhan. Mungkin  ini cara Tuhan  untuk kami, pikirku. Beberapa hari kemudian kami mengurus semua berkas-berkas berkaitan dengan aturan mengadopsi seorang anak. Setelah semuanya selesai, kami mendapatkan hak yang legal untuk mengadopsinya.

****

            Mark. Itulah nama yang disematkan kepada bayi mungil itu. Kini, ia bertumbuh besar. Ia telah melalui berbagai rintangan hidup yang begitu kejam. Namun, ia tetap tegar dalam menghadapi semuanya. Doa adalah kekuatan. Baginya segala sesuatu dikerjakan dengan doa. Doa menjadi senjata paling ampuh dalam menghadapi segalanya. Semua itu merupakan hasil dari didikanku yang sederhana. Namun, cara sederhana membuat ia mengerti segala sesuatu. Kami mendidiknya seperti anak kami sendiri. Tidak ada yang dispesialkan antara  dia dam Mattew yang merupakan buah hatiku sendiri. Kami membagi cinta kami kepada mereka secara rata. Dan hal yang menjadikanku sedih adalah ketika ia selalu menayakan, mengapa ia berbeda dengan adiknya? Pertanyaan ini menjadi hantu dalam setiap mimpiku. Aku tak mampu memberikannya jawaban yang sebenarnya kepada dia. Sehingga aku selalu menyembunyikan hal itu kepadanya.

            Sekarang Mark sudah menyelesaikan pendidikan SMAnya. Ia pasti bisa menentukan nasibnya sendiri kami hanya mendukungnya dengan sepenuh hati. Menjadi seorang biarawan adalah sebuah impian yang sangat dirindukannya. Biara menjadi pelabuhan terakhir setelah ia terlempar dari ganasnya. Biara menjadi pusat dari segala bahagia dan damai. Di sana ada tenang yang kekal. Rupanya ia tertarik dengan cara hidup kaum berjubah. Jubah putih telah menarik segala tatapan pada matanya. Bahkan seluruh tubuhnya telah dijeratnya. Dan malamnya selalu bermimpi  betapa bahagianya ia mengenakan pakaian putih itu. Kumpulan benang putih itu selalu menyenyakkan setiap ia memejamkan mata.

****

            Di sudut biara kembali ia mengenang tentang kisah yang masih tergenang. Seperti hujan kemarin sore yang basahnya masih bertengger di sudut-sudut daun bunga melati. Pada raut wajahnya tersimpan banyak cerita yang terpendam dalam genggaman waktu. Tampak murung pada wajahnya. Ternyata ia masih berkutat dengan setiap tanya. Tentang eksistensinya yang masih saja tersamar-samar. Sampai saat ini ia belum mengetahui siapa yang mengadakanya selain Tuhan. Rupanya ia cukup lelah untuk menjawab. Ia menonggakkan kepalanya yang dibelenggu oleh cerita nestapa. Ia merasa tersisih oleh kisah itu. Semua orang boleh tertawa dengan wajah bahagia dengan orangtua mereka. Tapi, ia harus menerima kenyataan yang tak pernah terlintas dalam benaknya. Nasibnya sungguh malang. Ia menjadi jalang dari kumpulan yang malang.

            Sudah sekian lama ia duduk di sudut bangunan itu. Matanya mengalirkan sungai. Gelombangnya sangat deras seperti tasik-tasik di negara Timur. Laut pada matanya terus menderu menghasilkan petir yang menyambar hatinya sendiri. Bunyi yang menggelegar dan cahaya kilat menghantam bumi. Tapi, ia terus saja duduk tanpa ingin memindahkan badannya. Ia ingin merasakan deruan alam dan batinnya. Namun, setelah sekian lama ia bertahan tubuhnya tak sanggup menopang dingin dan basah yang membuatnya kuyup oleh karena sing pada gedung tua itu ada yang bolong.

            Ia melipat tangannya di depan dada. Ia memandang dengan kegamangan yang mendalam. Ia sungguh tragis dan sadis karena telah lahir dengan tiada wajah yang mengada. Setelah sekian lama ia mulai berbicara. "Tuhan ambilkan saja jiwaku" gumamnya dengan mulut bergetar. Ia telah menyerah pada waktu dan ingin kembali dari mana ia berasal.

            Biara itu tampak sepi. Sepertinya tak ada penghuni. Dari kejauhan seorang ibu yang rupanya telah lama menunggu. Namun, pintu biara itu belum terbuka untuknya. Ia tetap berdiri dan menunggu. Ia harus menunggu untuk sesuatu yang berharga pastinya. Tidak lama kemudian ia memutuskan duduk setelah sekian lama ia berdiri . Rupanya kaki yang menopangnya sudah mulai pegal dan kesal karena telah lama menunggu. Sekali lagi, ia mengetuk pintu. Namun tak ada yang mendengar. Ia tetap sabar. Ia hanya duduk sembari melengak-lengokkan kepalanya melihat taman biara yang begitu indah dan nyaman. Matanya terus mengitari taman kecil itu. Setelah sekian lama ia memandang ia kembali mengetuk lagi pintu itu.

              "Krek...." Suara pintu itu menandakan seseorang yang membukanya. "Selamat sore bu dan selamat datang di tempat ini", sapa seorang pemuda yang perwawkan tinggi itu dengan ramah. "Ayo, silahkan masuk Bu" lanjutnya. Namun ibu itu hanya tersenyum dan tangannya masuk ke saku bajunya dan dikeluarkan sesuatu dari situ. Ia menyodorkan surat kepada orang yang di depannya dan mulutnya berkomat kamit memberikan sesuatu berkaitan surat itu. Mungkin untuk siapa benda itu. Atau dari mana surat itu berasal.Entahlah. Kemudian ibu itu mengambil langkah dan meninggalkan biara itu. Sejenak langkahnya terhenti dan menoleh sebentar pada pintu biara yang sudah tertutup rapih.

            Kembali pada sudut biara. Pemuda yang biasa disapa frater itu duduk bercerita sendiri. Sejenak ia memandang cakrawala siang yang beringas. Kemudian menunduk merenung. Di tangannya terdapat sebuah kertas usang yang mungkin sudah ia baca. Baru kali ini ia tidak menangis. Ia kelihatan tegar dari hari sebelumnya. Apakah ia sudah menang? Gumamku dalam hati. Entahlah.  "Tuhan sudah saatnya  Engkau mengutus pergi", ia bemonolog. "Segala sesuatu aku telah mengetahauinya. Aku telah kau lemparkan ke dunia ini. Kemudian dengan cinta Engkau memanggilku" ia berbicara dengan lantang di hadapan tembok- tembok sepi biara itu. "Terima kasih Kau telah membebaskanku", lanjutnya dengan muka senyum dan mengambil langkah beranjak pergi dari sudut itu. Nama Wanita itu adalah Maria, Ibu Yesus

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun