Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi, Usulan Ketum, dan Jebakan Politik

7 Oktober 2023   14:51 Diperbarui: 7 Oktober 2023   14:52 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo hadir dalam Pembukaan Rakernas PDI-P di Kemayoran. Foto: https://news.republika.co.id/

Jawaban Jokowi dan Hasto terkait usulan agar Jokowi menduduki jabatan ketua umum PDI-P memiliki catatan kritis yang perlu didalami. Hasto dalam keterangannya tetap memperkuat posisi Mega sebagai Ketum PDI-P, sedangkan Jokowi menawarkan alternatif lain, dengan menyebut tokoh-tokoh muda, seperti Puan dan Prananda sebagai pengganti. Apakah ini penanda bahwa loyalitas mulai meredup?   

Citra politik Jokowi semakin melebar. Dari kiprahnya menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, Presiden RI selama 10 tahun; sekarang tengah ramai beredar isu bahwa Jokowi diusulkan untuk menduduki jabatan kursi Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P). Meski belum pasti, isu ini sudah mendapat tanggapan resmi dari Jokowi dan Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto. Menanggapi usulan itu, Jokowi justru memilih pensiun dan pulang ke Solo. Jokowi mengklaim, masih banyak tokoh muda potensial yang mampu menduduki jabatan itu ketimbang dirinya. Selain Jokowi, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto juga menilai bahwa usulan itu harus mendapat persetujuan dari seluruh anggota partai. Hasto menilai, banyak kader partai arus bawah yang tetap menginginkan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketum PDI-P hingga masa jabatan selesai.

Isu usulan jabatan Ketum PDI-P diduduki Jokowi sejatinya tidak datang dari luar kandang banteng. Isu ini justru datang dari Kakak Megawati Soekarnoputri, yakni Guntur Soekarnoputra. Guntur menilai Jokowi mempunyai peluang untuk menduduki kursi Ketum PDI-P karena masih bagian dari kader partai. Daya tawar Jokowi di ruang percaturan politik Tanah Air, juga masih memberikan efek bergelombang di tengah masyarakat. "Jokowi wave" tentu dilihat sebagian pengamat sebagai daya pemikat yang mampu memperkuat kedudukan PDI-P di bursa kekuatan politik di masa mendatang. Elektabilitas dan daya populis Jokowi yang datang dari lajur "wong cilik" justru memberi kekuatan ekstra pada tubuh PDI-P pada kompetisi-kompetisi selanjutnya. Menariknya nanti, jika Jokowi berhasil duduk di kursi Ketum PDI-P, posisi Ketua Dewan Pembina Partai (DPP) bisa tetap diduduki Megawati Soekarnoputri.

Akan tetapi, semua ini masih dalam tahap wacana dan sudah direspon langsung oleh Jokowi sendiri. Ketika ditanya awak media terkait "usulan nakal" itu, Jokowi justru menjawab dengan santai bahwa dirinya lebih memilih pensiun dan menetap di Solo daripada mengejar kursi pimpinan partai. Selain memilih pensiun ke Solo, Jokowi juga menawarkan tokoh-tokoh muda, seperti Puan Maharani dan Muhammad Prananda Prabowo sebagai alternatif. Jawaban altenatif Jokowi terkait usulan dirinya menjadi Ketum PDI-P, bagi saya seolah-olah memberi tanda bahwa proses kaderisasi seharusnya dan sesegera dilakukan. Penyebutan sosok-sosok alternatif pengganti, juga memberi kemungkinan bahwa jabatan Ketum PDI-P bisa diduduki oleh tokoh-tokoh muda.

Arah Jawaban Jokowi dan Hasto

Tidak seperti Sekjen PDI-P yang masih menyarankan Megawati sebagai sosok yang potensial menahkodai PDI-P, Jokowi justru sebaliknya menyarankan agar tokoh-tokoh muda diberi peluang dan kesempatan untuk menduduki posisi Ketum Partai. Hemat saya, hal ini tentu erat kaitannya dengan situasi yang tengah dialami putra bungsu Jokowi, yakni Kaesang Pangarep yang sudah lebih dulu menduduki jabatan kursi Ketum PSI. Ada poin menarik bagi saya yang bisa menjadi bahan refleksi mendalam, yakni terkait jawaban Jokowi. Dalam hal ini, Jokowi secara tidak langsung menyetujui usulan penggantian ketum (menolak mencalonkan diri), sekaligus memberi jawaban alternatif terkait peluang anak muda (menyebut nama Puan dan Prananda).

Menolak usulan tentu bagian dari sikap tegas Jokowi sebagai seorang kader partai dan Kepala Negara yang masih menjabat. Dalam hal ini, Jokowi tentu tidak ingin kabar burung terkait keretakan hubungannya dengan Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri semakin diperparah dengan jawaban-jawaban yang mengarah pada peluang sekaligus niat dirinya menduduki kursi Ketum Partai. Jawaban yang paling aman adalah memilih untuk pensiun dan kembali ke Solo. Dari cuplikan jawaban yang beredar di media sosial, Jokowi sama sekali tidak menolak usulan, tetapi memilih alternatif jawaban yang setidaknya tidak memperlebar daya interpretasi publik. Jawaban santai Jokowi di satu sisi memberi ruang reflektif bagi Jokowi sendiri bahwa dirinya masih dan sangat diperhitungkan dalam laboratorium keberlanjutan elektabilitas PDI-P.

Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto menanggapi usulan Jokowi jadi Ketum PDI-P. Foto: https://makassar.antaranews.com/
Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto menanggapi usulan Jokowi jadi Ketum PDI-P. Foto: https://makassar.antaranews.com/

Selain memilih pensiun dan pulang ke Solo, Jokowi juga menghadirkan opsi lain. Jokowi menyodorkan alternatif jawaban lain yang hemat saya justru membuka peluang bahwa pergantian Ketum PDI-P sebaiknya dilakukan dan diberikan ke kader-kader muda. Jokowi mengemas jawabannya dengan menyebut nama putri Ketum PDI-P Puan Maharani dan Prananda Prabowo. Artinya, ada beberapa kemungkinan yang bisa dibaca dari alternatif jawaban ini. Pertama, Jokowi secara tidak langsung setuju dengan usulan Ketum PDI-P diganti. 

Memberi alternatif jawaban, hemat saya sama dengan menyetujui premis yang diusulkan dalam pertanyaan. Beda halnya ketika Jokowi menolak tawaran dan tetap kekeh mengusulkan Mengawati Soekarnoputri sebagai Ketum Partai. Ketika jawaban Jokowi disandingkan dengan jawaban Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, agaknya ada perbedaan sikap dan pandangan dari dua kader partai ini. Jokowi menolak dirinya menjadi kandidat sekaligus mengusulkan sosok yang bukan Megawati, sedangkan Hasto menolak Jokowi menjadi kandidat dan tetap mempertahankan (bukan mengusulkan) Megawati sebagai Ketum Partai.

Dari perbandingan dua jawaban yang dikemukakan oleh dua kader PDI-P, sesungguhnya, kita bisa melihat seberapa besar sikap dan loyalitas kader untuk partai dan kepada ketum partai. Loyalitas memang tidak serta merta hanya diukur dengan grafik intensitas kata yang merujuk ke arah dukungan. Akan tetapi, bahasa sebagai representasi dari komunikasi isi pikiran sejatinya tidak pernah hadir tanpa embel-embel kapital simbolik. Bahasa dalam penggunaannya, sesungguhnya tidak pernah netral. Bahasa dengan kata lain adalah instrumen kekuasaan. Dengan penggunaan bahasa yang ditata dalam komunikasi verbal, arah sikap dan isi pikiran seseorang bisa dibaca dan disistematisasi.   

 

Jabatan Ketum dan Jebakan Politik Dinasti   

Ketika Jokowi diusulkan menjadi kandidat pengganti Ketum PDI-P menggantikan Megawati Soekarnoputri, hemat saya ada sebuah jebakan besar yang tengah dipersiapkan. "Trap politik" ini tentu bisa dibaca dari rentetan jabatan politis dan pemerintahan yang diemban oleh keluarga besar Jokowi. Saat ini, postur kekuasaan Jokowi tengah merambah ke berbagai wilayah, antara lain di Medan melalui menantu Jokowi, yakni Bobby Nasution, di Solo melalui putra sulung Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka, dan di wilayah politis partai politik (PSI) melalui putra bungsu Jokowi, yakni Kaesang Pangarep. Tangan-tangan kekuasaan ini tentunya sudah masuk ke dalam rezim dinasti politik Jokowi. Jika Jokowi juga masuk, artinya politik dinasti berdiri kokoh.

Jokowi merespon usulan dirinya menjadi Ketum PDI-P. Foto: https://setkab.go.id/
Jokowi merespon usulan dirinya menjadi Ketum PDI-P. Foto: https://setkab.go.id/

Usulan Guntur Soekarnoputra tentu bisa dibawa ke ruang interpretasi yang lebih mendalam dan jauh ke depan. Kalkulasi untung-rugi dari usulan Guntur, seharusnya dikelola dengan hati-hati agar Jokowi tidak masuk dalam perangkap politik dinasti. Memang, posisi tawar dan citra Jokowi masih mendekam di hati masyarakat. Akan tetapi, rentetan peristiwa yang sekejab mengubah kekuatan politik keluarga Jokowi, tentu akan menjadi catatan serius bagi Jokowi di kemudian hari. Menerima usulan dan menduduki jabatan Ketum PDI-P sudah pasti membuat elektabilitas Jokowi luntur dan hilang sekejab. Jokowi justru akan dicap sebagai Bapak Politik Dinasti jika watak kekuasaan terus diburu atas nama kemakmuran keluarga. Hemat saya, Jokowi sebaiknya tetap konsisten dengan jawabannya dengan memilih pensiun dan pulang ke Solo ketimbang bermain di peta politik. Biarkan Jokowi menjadi orangtua yang bijak menasihati anak-anak yang kini sibuk bermain dengan isu-isu politis.

      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun