Lika-liku perjalanan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia selama kurang lebih dua dekade belakangan ini merupakan sebuah peristiwa monumental yang tidak bisa dilepaspisahkan dari rengkuhan sejarah. Selama 20 tahun, sejak berdirinya pada 13 Agustus 2003 sebagai sebuah lembaga pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi (MK) telah melewati beragam situasi dan kondisi yang sangat bersejarah. Kehadiran Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga kekuasaan kehakiman sejatinya memberikan kontribusi tersendiri bagi seluruh dinamika bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu sumbangsih berharga lembaga kekuasaan kehakiman ini adalah menjaga amanah bangsa dan negara dalam mengawal konstitusi dan pilar demokrasi.
Keberhasilan Mahkamah Konstitusi dalam mengawal konstitusi, sejatinya tidak lepas dari banyaknya benturan kepentingan, tantangan politik, dan intervensi kekuasaan yang selalu mengapitinya. Dalam catatan perjalanannya, Mahkamah Konstitusi pernah diterpa badai korupsi yang mengantar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (2013-2013) Akil Mochtar masuk pukat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain tantangan terkait korupsi, Mahkamah Konstitusi juga perlu mengawal diri berhadapan dengan intervensi politik dan rezim yang tengah berkuasa. Di era post-truth, dimana kebohongan diagungkan sebagai sebuah kebenaran baru, upaya mengakal-akali kekuasaan adalah hal yang lazim digunakan oleh para penguasa. Hemat saya, momen era post-truth inilah yang menjadi salah satu tantangan yang perlu diantisipasi oleh Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah institusi berwibawa di tahun yang akan datang.
Perjalanan 20 Tahun Mahkamah Konstitusi
Pada tanggal 13 Agustus 2023, Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga kekuasaan kehakiman memasuki usia 20 tahun. Di usia yang masih relatif muda ini, Mahkamah Konstitusi sejatinya tengah memasuki masa-masa "pubertas." Masa "pubertas" merupakan istilah yang sengaja disematkan untuk memberikan penjelasan tentang suatu fase dimana manusia mengalami beragam gejolak dalam hidup. Hal serupa, hemat saya juga dialami oleh Mahkamah Konstitusi. Di usianya yang ke-20, Mahkamah Konstitusi akan mengalami beragam gejolak, perlawanan, tantangan, dan upaya menuju pendewasaan.
Menuju masa pendewasaan, sebagai sebuah lembaga yang mengawal supremasi konstitusi, Mahkamah Konstitusi telah melewati situasi-situasi terpuruk dalam perjalanan sejarahnya. Dari segi profesionalitas kepemimpinannya, penangkapan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia periode 2013-2013 Akil Mochtar misalnya, telah menjadi salah satu poin krusial yang menunjukkan bahwa kewibawaan Mahkamah Konstitusi tengah dipertanyakan. Akil Mochtar kala itu ditangkap karena terlibat dalam kasus suap Sengketa Pilkada yang melibatkan beberapa Kepala Daerah di Indonesia.
Sebelum Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terseret kasus suap (2003-2013), Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga pengawal konstitusi justru memasuki periode gemilang. Pada masa itu, Mahkamah Konstitusi mampu memutuskan berbagai persoalan terkait judicial review sesuai dengan konstitusi dan harapan bersama bangsa dan negara. Para mantan ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, yakni Jimly Asshiddiqie (2003-2008) dan Mahfud MD (2008-2013) mampu menjaga marwah Mahkamah Konstitusi hingga selesai periode kepemimpinannya. Dalam hal ini, satu dekade awal lahirnya Mahkamah Konstitusi, bisa dilihat sebagai masa pembentukan "jati diri" Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah institusi.
Fenomena pergantian pemimpin tentunya mengubah arah dan mekanisme perjalanan Mahkamah Konstitusi. Setelah diterpa masalah suap yang dilakukan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar pada 2013, upaya pembenahan internal lembaga mulai dilakukan. Pucuk kepemimpinan lembaga kemudian berada di tangan Hamdan Zoelva (2013-2015). Pasca 10 tahun berjalan pasca kepemimpinan Hamdan Zoelva, lembaga penjaga konstitusi kembali diterpa berbagai masalah lainya, salah satunya adalah Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat (2015-2017) mendapat sanksi etik ringan berupa teguran tertulis dari Dewan Etik Mahkamah Konstitusi. Rentetan peristiwa ini, hemat saya merupakan suatu bentuk pendewasaan dan kematangan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Catatan perjalanan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga, tentunya tidak hanya ditelusur dari postur profesionalitas kepemimpinannya. Isu lain yang menjadi catatan serius adalah sol independensi (netralitas) Mahkamah Konstitusi dalam menangani berbagai perkara terkait peristiwa hukum yang melibatkan institusi negara. Netralitas Mahkamah Konstitusi adalah kekuatan ekstra di balik kewibawaanya sebagai sebuah institusi. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi perlu menjaga dinamika kerja tanpa intervensi kekuasaan. Lobi-lobi politik yang mengatasnamakan pembagian kekuasaan dan sistem balas budi, seharusnya dikesampingkan dalam ruang lingkup kerja dan tanggung jawab Mahkamah Konstitusi.
Selama dua dekade berjalan, hemat saya, ada dua peristiwa bersejarah yang memperlihatkan bahwa Mahkamah Konstitusi mampu independen dalam membuat kebijakan. Pertama, kasus sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang melibatkan dua kubu yang bersaing, yakni pasangan Joko Widodo-Ma'aruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Pada momen itu, netralitas Mahkamah Konstitusi sangat digandrungi masyarakat. Postur keadilan yang diadu di meja konstitusi saat itu menjadi momen dimana Mahkamah Konstitusi benar-benar menjadi pengawal keadilan hukum.