Kedua, demokrasi Hatta bersumber dari ajaran Islam yang mengajarkan nilai-nilai persamaan persaudaraan, perikemanusiaan, dan keadilan sosial. Sumber ini lahir dari pertentangan Mohammad Hatta dan Soekarno. Soekarno berusaha menanamkan demokrasi modern di Indonesia. Namun, Hatta menolak karena menurutnya dengan penanaman demokrasi liberal, maka orang akan terjerumus pada masalah kepentingan individu.
Dalam hal ini, Hatta menilai bahwa Soekarno sangat berciri diktator. Hatta di sini menyadari sesuatu yang amat penting, Keadilan sosial, dan sebagai akibatnya, kesejahteraan rakyat, justru mengandaikan kedaulatan rakyat. Agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakkan. Hatta juga membuktikan diri sebagai penganalisis yang lebih tajam. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya (Frans Magnis Suseno, "Bung Hatta dan Demokrasi", Tempo).
Hatta kemudian merumuskan demokrasi sebagai kedaulatan rakyat. Prinsipnya bahwa demokrasi modern digerakkan oleh material struktur pertentangan kelas, sedangkan ajaran Islam digerakkan oleh semangat pengabdian kepada Allah. Mewujudkan keadilan dan kesejahteraan di dalam masyarakat adalah kewajiban mengikuti perintah Allah yang tidak dapat diingkari. Relasi sosial antar-masyarakat adalah kunci menuju keadilan dan kesejahteraan.
Ketiga, demokrasi Hatta bersumber dari cara hidup masyarakat asli Indonesia. Relasi sosial masyarakat asli dalam hal ini masyarakat desa ditunjukkan melalui kepemilikan bersama atas tanah, gotong royong dalam menyelesaikan berbagai pekerjaan dan sama sekali tidak menunjukkan adanya keterpisahan antara urusan publik dan individu. Semua relasi didasarkan pada semangat sosial pengambilan keputusan bersama melalui musyawarah dan mufakat. Pada dasarnya, demokrasi dihidupi berdasarkan perikemanusiaan dan keadilan sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H