Menurut Paperzak, Allah para filosof tidak pernah menjadi Allah yang diyakini agama. Filsafat dan agama (teologi) hanya bisa bekerja sama dalam upaya pencarian terhadap apa yang disebut substansi, dasar, fondasi, arche atau ada tertinggi. Dengan kata lain, filsafat tidak bisa memonopli konsep atau istilah yang diciptakan sendiri dan dijadikan tolok ukur.
Istilah yang paling tepat untuk menggambarkan Allah yang diyakini dalam agama ada ketakterhinggaan dari Emmanuel Levinas. Skema berpikir filsafat yang dikritik Heidegger menyembunyikan karakter egosentris yang menempatkan aku sebagai subjek dan yang lain mendapat asupan dari kategori-kategori yang dibagun oleh aku.
Prinsip totalitas atau generalisasi yang diwariskan oleh metafisika kehadiran -- ditandai oleh logosentrisme -- akhirnya menghentikan semua bentuk pencarian lain atau pemahaman lain di luar tradisi filsafat. Nubuat kematian Tuhan yang disampaikan Nietzsche adalah salah satu ranting dari upaya destruksi metafisika.
Agama post-Nietzschean masih mengalami perkembangan dan semakin kritis. Masa depan agama setelah destruksi metafisika dan onto-teologi Heideggerian tetap ada. Agama semakin berkembang dan selalu menemukan cara baru dalam mempertahankan kelanggengan usianya.
Pertanyaan provokatif pun muncul: "Jika kita ingin memahami bagaimana filsafat agama menjadi mungkin, apakah kita tidak bisa belajar dari sesuatu di luar tradisi filosofis, yakni agama?" Kehadiran agama pun tidak pernah mampu menunjukkan siapa yang diyakini sesungguhnya.
Dalam keterbatasannya -- kadangkala di luar koridor rasionalitas -- agama tetap membuat orang mengimani Tuhan. Semua pertanyaan tentang theos mendapat penjelasan tersendiri dalam agama. Pada tahap ini, filsafat tidak mampu menjangkau seluruh pemahaman tentang Tuhan -- ada tertinggi, yang lain, the third, yang tak terhingga, tak meruang dan mewaktu.
Ketika Ia (Tuhan) terpahami secara keseluruhan dan direngkuh dalam istilah-istilah yang terbatas, Ia akhirnya habis -- Ia meruang dan mewaktu; padahal Tuhan melampaui ruang dan waktu.
Catatan Paperzak tentunya sangat membantu dalam memahami kemampuan agama untuk bertahan usai destruksi metafisika (onteologi Heideggerian) dan nubuat kematian Tuhan (Nietzsche). Heidegger mengembalikan makna asali ada ke dalam karakter ada sebagaimana adanya. Yang tak tersembunyi, yang tidak menampakkan diri, menurutnya lebih penting daripada yang kelihatan atau tampak.
Akan tetapi, kapan yang tidak tampak itu menampakan dirinya, bagi Heidegger penjelasan itu hadir dalam sikap menunggu. Ketidakpastain adalah sesuatu yang jelas akan dihadapi dalam ontoteologi Heidegger -- karena orang harus menunggu Ada (Being) menampakkan diri. Pada Heidegger Ada (Being) lebih penting daripada ada (beings). Ada (Being) tersembunyi seperti bongkahan es dan sering dilupakan. Orang cenderung mengagung-agungkan yang kelihatan, gunung es, yang tampak; lalu mengabaikan yang tidak tampak.
Hemat saya, pengaruh kritik Heidegger terhadap metafisika kehadiran akhirnya mengeneralisir semua disiplin ilmu -- seolah-olah agama juga mengadopsi seluruh tradisi metafisika kehadiran. Ontoteologi pada dirinya menunjukkan pula sindiran terhadap agama yang dikemas dalam cara berpikir sistemik-determinisik warisan tradisi filsafat.
Agama tidak pernah disamakan dengan filsafat. Cara keduanya memahami Ada Tertinggi selalu dalam kacamata yang berbeda-beda. Levinas menunjukkan dua kekayaan berbeda ini dalam penjelasannya mengenai yang lain. Istilah yang lain menunjuk pada sesuatu yang tidak terbatas dan tak bersekat.Â
Artinya, yang lain -- mengarah pada agama dengan berbagai kekayaannya, yakni tentang Tuhan -- tidak bisa direduksi hanya dalam pengetahuan tertentu, misalnya filsafat.
Maka, agama usai ontoteologi tetap menunjukkan perkembangannya dan tetap terpahami dengan baik.Di sisi lain, konsep yang lain dari Levinas selalu dipahami dalam pengalaman -- peristiwa perjumpaan. Artinya, Levinas juga tetap berangkat dari hal-hal empiris ketika hendak menjelaskan mengenai yang tak terhingga, tak terbatas (the infinite).
Hemat saya, etika tanggung jawab Levinas masih bergerak dalam karakter empirisme -- menunjuk pada pengalaman. Semua penjelasan mengenai yang tidak mungkin akhirnya juga dikritisi karena liyan dalam Levinas selalu bergerak dari yang mungkin, yakni pengalaman perjumpaan dengan yang lain. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H