Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Gereja yang Melumpur

24 November 2021   22:21 Diperbarui: 24 November 2021   22:36 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi misi Gereja. Sumber: https://www.sesawi.net.

Pelayanan pastoral bukanlah sebuah pekerjaan biasa di tengah masyarakat dan jemaat. Pelayanan pastoral mengambil semangat, inspirasi, dan pola dari Injili: "Kristus yang menjadi Gembala yang baik, yang mengenal dan menuntun domba-domba-Nya" (bdk. Yoh 10:1). Maka, pelayanan itu sudah pasti secara khas, mengandung spiritualitas mendalam yang menjiwai seluruh aktivitas tersebut.

Unsur inilah yang memberi karakter "pastoral" pada karya tersebut. Itu sebabnya, pengalaman pastoral adalah pengalaman "rohani" sejauh pelayanan itu dihayati sebagai partisipasi dalam gerak Roh Kudus yang selalu membimbing Gereja (LG, 4). Oleh karena itu pula, pelayan pastoral (terutama para imam) bukan sekedar "pegawai Gereja" melainkan "in persona Christi" dan "in persona ecclesiae" dalam menjalankan tugas panggilannya di tengah jemaat.

 Gereja: "Outward Looking" 

Evangelii Gaudium (EG) mengawali pewartaan tentang sukacita Injili, sebagai Kabar Gembira Kristus bagi seluruh dunia dan umat manusia dengan penegasan eklesiologis yang cukup kuat.

"Gereja yang bergerak keluar" diuraikan sebagai sikap dasar yang harus dimiliki bila ingin membawa kabar sukacita Injil. Paus Fransiskus membandingkan hal itu dengan peristiwa dipanggilnya tokoh-tokoh penting yang disebut dalam Kitab Suci, misalnya Abraham, Musa, Yeremia, dan bahkan Kristus sendiri.

Dalam panggilan itu terkandung unsur "bergerak keluar" sebagai pola perutusan Allah (EG, 20). Bahkan "gerak keluar" itu bukan hanya untuk hidup menjemaat, melainkan juga untuk hidup personal tiap orang beriman.

"Dalam kesetiaan kepada teladan Sang Guru, sungguh penting bagi Gereja saat ini untuk pergi keluar dan memberitakan Injil kepada semua orang di setiap tempat, dalam segala kesempatan, tanpa ragu-ragu, enggan atau pun takut" (EG 23).

Gereja yang digambarkan oleh EG ini nampaknya adalah sebuah Gereja yang proaktif menjumpai semua orang seperti diterangkan lebih lanjut dalam EG 24, yakni berani mengambil prakarsa-prakarsa: mencari mereka yang menjauh, menjumpai mereka "di persimpangan jalan yang tersingkir."

Komunitas yang murah hati, menjembatani, menghambakan diri jika perlu, merangkul hidup manusia, menemani kemanusiaan dalam seluruh proses, betapapun sulit dan lamanya; komunitas yang memiliki daya tahan, tidak menggerutu dan bereaksi berlebihan, tidak mencari musuh dan akhirnya sebuah komunitas yang selalu bersukacita dan merayakannya.

Evangelii Gaudium 46-49 berbicara mengenai Gereja yang bergerak keluar ialah Gereja yang membuka pintu-pintu dan menjumpai sesama di "pinggir kemanusiaan" untuk melihat dan mendengarkan sesama, menemani seseorang yang tertatih-tatih di pinggir jalan. Itu adalah ungkapan simbolik dari kepedulian dan keprihatinan terhadap berbagai permasalahan yang melanda kemanusiaan.

Gereja tidak menjadi komunitas tertutup terhadap kemanusiaan. Bahkan secara internal gerejawi: pintu-pintu sakramen pun tidak tertutup, karena sakramen yang merupakan pintu (sakramen baptis). Dan Ekaristi, bukanlah sebuah hadiah bagi orang-orang sempurna, melainkan suatu obat kemurahan hati dan makanan bagi yang lemah."

Maka, dalam hal ini Gereja harus menjadi "Rumah Bapa" (bukan pabean) dimana semua orang dengan segala permasalahannya memiliki tempat. Untuk itu, Gereja harus menawarkan Kristus kepada semua orang dan berani "memar, terluka, dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan, daripada Gereja yang sakit karena menutup diri dan nyaman melekat pada rasa amannya sendiri."

Dalam EG bab IV berbicara mengenai dimensi sosial dari evangelisasi. Intinya adalah pewartaan Kabar Gembira tidak mungkin tidak harus berhubungan dengan komitmen Gereja pada masyarakat dengan segala problematikanya, terutama dalam hal kepeduliaan terhadap mereka yang dililit oleh kemiskinan, kelemahan, marginalisasi, dan difabel.

Dengan demikian, pewartaan Kabar Gembira yang penuh sukacita dan penuh kemurahan, haruslah disertai dengan usaha untuk mewujudkan kesejahteraan umum, keadilan, dan perdamaian di tengah masyarakat. Dan salah satu jalan yang diusulkan oleh EG ialah dialog sosial (EG 238-258).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun