Korupsi bukan lagi kejahatan extraordinary saat ini. Hari-hari ini, kita cenderung ditodong berita seputar kata korupsi. Belum selesai kasus si A, tersangka si B, dan terdakwa si C, tiba-tiba antri menghiasi halaman pemberitaan. Tak ada yang takut. Semakin garang taring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menggigit, semakin banyak celah justru dilirik.
Sejak tahun 2011, kalau tidak salah, mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi (PAK) dimasukkan ke dalam kurikulum setiap Perguruan Tinggi (PT). Tujuannya, tidak jauh berbeda dari semangat lembaga KPK, yakni tuntas habis basmi korupsi.Â
Semangat PAK digaungkan agar para mahasiswa dilatih, dididik, dan dibiasakan untuk bertindak jujur. Memang, korupsi sebetulnya lahir dari budaya anti-kejujuran.
Harapan formasi mata kuliah PAK, sejatinya bukan sekadar memenuhi tuntutan formalitas kurikulum PT. Takarannya, justru agar para mahasiswa dilatih jujur selama berada di lingkungan kampus juga di luar lingkungan kampus.Â
Artinya, setelah mendapat bekal tentang materi PAK, para calon penerus bangsa bisa belajar bagaimana bertindak, mengelola, dan memanjemen diri ketika diberi tanggung jawab.
Sekali lagi, pesannya jangan sekali-sekali korupsi. Kenapa korupsi dilarang keras? Toh banyak yang ditangkap KPK terkait kasus korupsi dan mereka merasa biasa-biasa saja. Apakah cukup berhenti di mereka?Â
Ketika korupsi dijadikan kata yang haram, orang semakin mencari-tahu apa penyebab orang suka melakukan tindakan tersebut. Hemat saya, salah satu penyebabnya, tak lain adalah budaya memberi.
Memberi pada dasarnya baik. Akan tetapi, jika pemberian itu menuntut pamrih, di situlah pemberian itu kehilangan maknanya. Seorang pejabat di lingkungan pemerintahan tertentu, misalnya, jatuh pada semangat korupsi, karena ia sering mendapat pemberian tertentu.Â
Ketika menerima pemberian tertentu, ia tidak kritis karena jumlah pemberian yang fantastis menghalangi nuraninya untuk membuat pilihan yang baik. Dalam hal ini, memberi sudah mengedukasi setiap penerima untuk melakukan kegiatan yang sama, yakni balas memberi.
Dalam fase tak disadari ini, tindakan kesalingan ini, memberi makna pada sebuah bentuk relasi. Saya memberi, karena saya mengharapkannya kembali. Logika ini, menyuburkan naluri dan batin para koruptor.Â