Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kabar Gembira, Kotbah, dan Pengaruh

17 September 2021   21:44 Diperbarui: 17 September 2021   21:50 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang imam tengah berkotbah dari mimbar Sabda. Foto: https://todayscatholic.org/.

Sebelum Konsili Vatikan II, kotbah dan homili hanya dilakukan oleh para imam atau mereka yang tertahbis -- kaum awam tidak diperkenankan untuk membawakan kotbah. Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh berbagai norma dan aturan dalam institusi Gereja yang terlalu rigid; dimana Gereja hanya mengizinkan para imam yang membacakan Kitab Suci.

Teks Kitab Suci juga dibiarkan dalam kondisi aslinya, ditulis dan dibaca dalam bahasa Latin. Beberapa tokoh Gereja, seperti Paus Leo Agung dan Hironimus bahkan melarang dengan keras mereka yang tidak terthabis untuk berkotbah -- meskipun mereka adalah  para religius yang sangat mampu. Kekakuan semacam ini akhirnya membuat banyak umat Katolik "memberontak." Umat menjadi pasif, ekaristi menjadi sangat membosankan serta berbagai keluhan bernada transformatif meluap.

Karena desakan umat dan kurangnya pelayan dalam Gereja, maka pada Abad Pertengahan -- terutama pada zaman Skolastik -- muncullah berbagai model kotbah, diantaranya kotbah tematis dan kotbah populer. 

Visi Gereja yang membuka jendela-jendela Vatikan, pada akhirnya memberi kesempatan kepada siapa saja -- tidak hanya imam atau mereka yang tertahbis -- untuk berkotbah.

Akan tetapi, tidak semua isi dan penyampaian kotbah selalu menarik. Fenomena umat mengantuk bahkan tertidur pulas saat kotbah adalah suatu bentuk evaluasi yang wajib diperbaiki dan dikritisi oleh seorang pengkotbah. Apakah kotbahnya tidak menarik, tidak tersampaikan, membosankan, bertele-tele, hampa, adalah litani evaluatif prospektif para pengkotbah.

Fenomena Kotbah  

Fenomena janggal berkaitan dengan kotbah di zaman sekarang adalah sesuatu yang sangat mencoreng masa keemasan Gereja Katolik -- terutama ketika berhadapan dengan rivalnya Gereja Reformasi. 

Komparasi model kotbah kedua Gereja ini sangat mendalam. Dalam Gereja Katolik, ekaristi menjadi pusat kegiatan liturgi; sedangkan dalam Gereja Reformasi, Sabda Allah menjadi pusat perayaan.

Karena dua perbedaan ini, maka klaim-klaim tertentu yang muncul dapat dengan mudah dievaluasi. Pemisahan antara altar (ekaristi) dan mimbar (Sabda Allah) dalam Gereja Katolik memberikan penjelasan gamblang tentang porsi keduanya dalam liturgi Gereja. 

Hal ini tidak berarti bahwa Sabda Allah mendapat perhatian sedikit daripada korban Kristus dalam liturgi Ekaristi. Walaupun dipisahkan dari liturgi Ekaristi, Sabda Allah tetap menjadi central dan makanan rohani orang Katolik.

Banyak orang -- terutama umat Katolik -- merasa terpuaskan (baca: dikenyangkan) seusai merayakan Ekaristi pada hari Minggu jika kotbahnya menarik. Intensnya kotbah sangat memengaruhi intensitas jumlah umat yang hadir untuk merayakan Ekaristi. 

Dengan kata lain, kotbah menjadi semacam infrastruktur untuk menarik umat Katolik agar betah dalam Gereja. 

Jika makanan rohani (Sabda Allah) disajikan tanpa persiapan, tanpa pengolahan yang matang, hampa dan cenderung membuat umat bosan, maka hal ini perlu dievaluasi -- apalagi jika hal ini dilakukan oleh seorang pelayan Sabda tertahbis, Uskup, Imam, dan Diakon.

Jika kotbah para awam lebih menarik dan baik daripada para religius, bagaimana seorang religius dengan berani mengklaim dirinya sebagai seorang pewarta Sabda? Pewartaan seorang pengkotbah harus sepadan dengan cara hidupnya -- cara hidup Anda yang baik adalah kotbah tak bersuara bagi para jemaat. 

Tugas seorang imam atau gembala yang paling utama adalah preach the good news! Sabda Allah sejak awalnya sudah menarik, tinggal bagaimana seorang gembala mempertahankan esensi Kabar Gembira itu agar tetap menarik dengan model penyajian yang menarik pula.

Siapa pengkotbah? Mengenai siapa itu seorang pengkotbah, referensi khusus mampu mengantar kita pada wejangan Yesus ketika hendak naik ke surga, "Pergilah ke seluruh dunia dan beritakanlah Injil kepada segala makhluk" (Mrk 16:15).

Dalam Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam disebutkan: "Umat Allah pertama-tama dihimpun oleh Sabda Allah yang hidup, yang karena itu juga sudah selayaknya diharapkan dari mulut para imam. .......para imam sebagai rekan-rekan kerja para Uskup, pertama-tama wajib mewartakan Injil Allah kepada semua orang" (PO 4).

Kutipan ini menunjukkan bahwa para gembala tertahbis diberi wejangan khusus untuk mewartakan Injil Allah. Dengan pendidikan khusus pula mereka ditempa agar menjadi pewarta Sabda yang handal dan efektif. Proses pendidikan yang lama adalah tahap prolog kegiatan evangelisasi. Tuntutan agar seorang pengkotbah mampu menarik perhatian umat adalah harapan Gereja.

Supaya kotbah yang disajikan bisa tersampaikan dengan baik, si pengkotbah perlu mengasah keterampilannya dengan berlatih terus-menerus dan giat mengevaluasi diri sendiri. Pewartaan iman dalam situasi zaman sekarang, sulit menggerakkan hati para pendengar.

Oleh karena itu, anjuran Konsili Vatikan II, hendaknya jangan menguraikan Sabda Allah secara umum dan abstrak saja, melainkan dengan menerapkan kebenaran Injil yang kekal pada situasi hidup yang konkret (PO 4). Kharisma para pewarta harus menjadi bahan bakar dalam menggerakkan spirit berkotbah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun