Dengan kata lain, kotbah menjadi semacam infrastruktur untuk menarik umat Katolik agar betah dalam Gereja.Â
Jika makanan rohani (Sabda Allah) disajikan tanpa persiapan, tanpa pengolahan yang matang, hampa dan cenderung membuat umat bosan, maka hal ini perlu dievaluasi -- apalagi jika hal ini dilakukan oleh seorang pelayan Sabda tertahbis, Uskup, Imam, dan Diakon.
Jika kotbah para awam lebih menarik dan baik daripada para religius, bagaimana seorang religius dengan berani mengklaim dirinya sebagai seorang pewarta Sabda? Pewartaan seorang pengkotbah harus sepadan dengan cara hidupnya -- cara hidup Anda yang baik adalah kotbah tak bersuara bagi para jemaat.Â
Tugas seorang imam atau gembala yang paling utama adalah preach the good news! Sabda Allah sejak awalnya sudah menarik, tinggal bagaimana seorang gembala mempertahankan esensi Kabar Gembira itu agar tetap menarik dengan model penyajian yang menarik pula.
Siapa pengkotbah? Mengenai siapa itu seorang pengkotbah, referensi khusus mampu mengantar kita pada wejangan Yesus ketika hendak naik ke surga, "Pergilah ke seluruh dunia dan beritakanlah Injil kepada segala makhluk" (Mrk 16:15).
Dalam Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam disebutkan: "Umat Allah pertama-tama dihimpun oleh Sabda Allah yang hidup, yang karena itu juga sudah selayaknya diharapkan dari mulut para imam. .......para imam sebagai rekan-rekan kerja para Uskup, pertama-tama wajib mewartakan Injil Allah kepada semua orang" (PO 4).
Kutipan ini menunjukkan bahwa para gembala tertahbis diberi wejangan khusus untuk mewartakan Injil Allah. Dengan pendidikan khusus pula mereka ditempa agar menjadi pewarta Sabda yang handal dan efektif. Proses pendidikan yang lama adalah tahap prolog kegiatan evangelisasi. Tuntutan agar seorang pengkotbah mampu menarik perhatian umat adalah harapan Gereja.
Supaya kotbah yang disajikan bisa tersampaikan dengan baik, si pengkotbah perlu mengasah keterampilannya dengan berlatih terus-menerus dan giat mengevaluasi diri sendiri. Pewartaan iman dalam situasi zaman sekarang, sulit menggerakkan hati para pendengar.
Oleh karena itu, anjuran Konsili Vatikan II, hendaknya jangan menguraikan Sabda Allah secara umum dan abstrak saja, melainkan dengan menerapkan kebenaran Injil yang kekal pada situasi hidup yang konkret (PO 4). Kharisma para pewarta harus menjadi bahan bakar dalam menggerakkan spirit berkotbah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H