Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengejar Kilas Sejarah Kepatihan Purbayan Solo (Part I)

9 September 2021   20:32 Diperbarui: 9 September 2021   20:31 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gereja St. Antonius Purbayan Solo. Foto: solopos.com.

Pada tanggal 26 November 1961, Monseigneur (Mgr) Sugiyopranoto datang ke Solo untuk memberkati Gereja Katolik Ketiga, yang diberi nama Gereja Santa Perawan Maria Regina, Purbowardayan. 

Pada periode ini salah satu wilayah yang sudah terbentuk adalah wilayah Kampung Sewu. Pada tanggal 26 Juli 1963, Uskup Agung Semarang, Monseigneur Sugiyopranoto meninggal dunia.

Hal ini tentunya menyimpan duka yang mendalam bagi para domba, tak terkecuali umat Solo yang baru dikunjunginya dua tahun sebelumnya.  Setahun setelah kepergian Sang Pastor (Mgr. Sugiyopranoto) dan bertepatan dengan durasi Proyek Umum Gereja, yakni Konsili Vatikan II (1962 -- 1965), wilayah Kepatihan memasuki fase pembentukan.  

Sebelum terbentuk menjadi sebuah wilayah dengan jumlah lingkungan yang ada sekarang -- lingkungan Felix, Filemon dan Filipus -- awalnya kepatihan hanya berbentuk kring.

Pak Tukijo dipercaya menjadi ketua kring. Wilayah Kepatihan baru terbentuk tahun 1964 -- bertepatan dengan hari di mana Presiden Soekarno mengumumkan keluarnya Indonesia dari zona PBB. 

Dengan dibentuknya wilayah Kepatihan, maka diangkat juga salah satu tokoh yang memilki jabatan penting, yakni Pak Sularso sebagai Pamong Wilayah.

Pak Sularso adalah pamong wilayah Kepatihan yang pertama. Jumlah umat Katolik di wilayah Kepatihan saat itu sekitar 30 KK. Banyak orang yang memiliki keinginan dibaptis untuk menjadi Katolik. Untuk menjembatani niat mereka yang ingin dibaptis, Pak Sularso selalu mengantar mereka ke pastoran Paroki Purbayan.

Segala pembinaan dan kegiatan lain yang berkaitan dengan Gereja selalu diantar ke Paroki. Ini berarti Pastor Paroki sendiri yang harus berkotor tangan dalam mengorganisir dan mengarahkan umat. Pamong wilayah -- karena masih dalam tahap pembentukan -- tidak terlalu banyak berperan dalam pembentukan orientasi wilayah.

Tugas pamong wilayah adalah menjembatani komunikasi antara umat dan pastor. Tidak mengherankan, pada periode ini, wilayah Kepatihan semacam berjalan di tempat atau hanya memasuki fase pergantian nama, yakni dari kring ke wilayah. Akan tetapi, hal menarik muncul pada periode ini, di mana banyak umat meminta diri untuk dibaptis. 

Umumnya umat yang tertarik untuk dibaptis -- di saat kepemimpinan Pak Sularso -- justru sangat didorong oleh nuansa kehangatan dan keramahan yang ditampakkan umat Katolik dalam kehidupan sehari-hari.

Kekhasan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi beberapa kaum Muslim yang akhirnya meminta untuk dibaptis. Tugas Pak Sularso yang saat itu menjabat sebagai pamong wilayah adalah hanya mengantar umat ke pastoran -- menyeberangi keinginan umat untuk dibaptis. Semua urusan selanjutnya menjadi tanggung jawab pastor kepala, yakni Rm. H Wakkers, SJ (1950 -- 1971).

Pada tanggal 15 -- 18 Maret 1966, banjir melanda kota Solo. Permulaan Orde Baru dengan dikukuhkannya Letjen Suharto sebagai Presiden RI, pada 11 Maret 1966, seakan memberitahukan kepada warga Solo tentang masa-masa krisis Indonesia dengan tragedi banjir. 

Menurut Rm. Kuris, SJ (2009: 145), banjir Solo menjadi semacam air purifikasi dan pembersihan genangan darah seusai tragedi berdarah G30S PKI, 1965.

Kejadian serupa (banjir) juga seakan mengantar warga Solo pada persitiwa silam 1961, saat sungai Bengawan Solo meluap hingga wuwungan rumah warga. Sebagian besar dari kota Solo saat itu terendam air, bahkan Kraton, Gereja Purbayan dan Pura-Mangkunegaran juga mendapat bagian. 

Pada saat itu, Pak Sularso masih memegang tampuk kepemimpinan wilayah Kepatihan. Tidak banyak hal yang beliau lakukan. Karena kesibukan pekerjaan sebagai sersan saat itu, fokus kerjanya pun terbagi.

Untuk keluar dari situasi memprihatinkan setelah peristiwa banjir, umat merasa terbantu oleh kebaikan dan uluran tangan para anggota Perkumpulan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) yang saat itu ikut merobohkan Orde Lama. 

Periode Pak Sularso adalah tahap embrional wilayah Kepatihan -- yang geraknya masih tergopoh-gopoh dan masih mencari-cari bentuknya yang kolektif sebagai sebuah wilayah Gereja.

Tahun 1974, Pak Sularso menyerahkan kepemimpinannya kepada Pak Bonifacius Suranto. Masa transisi ini dilihat sebagai suatu pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan -- mengingat masa kepemimpinan Pak Sularso tidak terlalu memberi pengaruh yang signifikan. 

Memasuki fase baru dalam tahap penemuan identitas dan pembenahan masa embrional, Pak Bonifacius Suranto pun mulai bekerja. Tahun 1974, kepemimpinan Pak Sularso berakhir.

Walaupun tidak terlalu memberi suatu perubahan yang mencolok, hal ini bukan berarti bahwa masa kepemimpinan Pak Sularso dan dibantu oleh rekannya Pak Ping An disepelekan. 

Sebagaimana suatu organisasi atau kelompok yang baru bertunas, masa kepemimpinan mereka dilihat sebagai suatu upaya mencari pembentukan yang tepat. 

Krisis pemimpin saat itu, juga menjadi pemicu mandeknya pergerakan roda kemajuan di segala jenis organisasi atau pengembangan kuantitas dan kualitas umat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun