Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anomali "Wangi-wangi" Saat Pandemi

9 Agustus 2021   08:42 Diperbarui: 9 Agustus 2021   09:01 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk kesekian kalinya, kita perlu merapatkan nada kritis untuk dibunyikan secara komunal: wajarkah anggaran sebesar itu dipaku untuk para wakil rakyat? Bukankah sebaiknya dana segede itu dipakai untuk penguatan perjuangan bersama melawan pandemi virus corona? Hemat saya, kita justru merasa terwakili ketika kita mampu menjawab kebutuhan mereka yang diwakili secara wajar. Kita justru merasa terwakili ketika kita bijak menempatkan sekaligus menggunakan kekuasaan untuk kebutuhan bersama. Bukankah demikian?

Kedudukan wakil rakyat adalah buah dari harapan rakyat. Ada kepercayaan besar yang dipikul rakyat ketika seorang pemimpin dipilih untuk menjadi wakil. Kepercayaan itu, meski bersifat vertikal, tetapi selalu diharapkan untuk berjalan secara horisontal. Artinya apa? Karena seorang pemimpin lahir dari rahim rakyat, ia pun perlu dan seharusnya bertindak sesuai apa yang dialaminya ketika menjadi rakyat biasa. Orang-orang demikianlah yang diberi label wakil rakyat: mengutamakan kepentingan di luar akusentrisme.

Selain pembengkakkan pagu anggaran untuk wakil rakyat, Kota Tangerang juga sempat dikerumuni berita soal pungutan liar (pungli) dana bantuan sosial (bansos). Ada begitu banyak informasi pengaduan yang masuk ke loket Pemerintah Kota Tangerang. Dari pantuan Menteri Sosial Tri Rismaharini, Kecamatan Karang Tengah termasuk salah satu lahan basah bermainnya para calo bansos. Mereka membagi porsi kehidupan yang diperuntukkan bagi rakyat kecil dengan sistem bagi-bagi minyak. Akibatnya, ketika sampai ke tangan penerima, minyak bansos sudah melengket di tangan pihak-pihak tertentu. Nah, apakah ini wajar?

Sistem bagi-bagi bansos dengan mekanisme bagi minyak memang kerapkali dipraktikkan di sejumlah daerah. Kota Tangerang, hemat saya, mungkin hanya salah satu wilayah yang berhasil dilacak. Jika dana bantuan itu diberikan dengan porsi yang seharusnya, kenapa harus disunat? Apakah pemerintah tidak memberi "upah" untuk para "volunter" pembagi dana bansos?

Kita ingin tetap wangi-wangi dan necis di masa pandemi, sementara tetangga kita ditimbun utang menggunung. Kita berfoya-foya dengan potongan Rp 100 ribu untuk setiap dana bantuan, sementara tetangga kita mati kelaparan disekap krisis keonomi. Mari membuka mata dan hati. Mari memberi. Kita sama-sama hidup di lahan dimana kenikmatan yang kita peroleh adalah pemberian secara cuma-cuma dari para pejuang kita. Apakah kita bisa melakukan hal yang sama untuk kemerdekaan bersama?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun