Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anomali "Wangi-wangi" Saat Pandemi

9 Agustus 2021   08:42 Diperbarui: 9 Agustus 2021   09:01 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada mulanya adalah kekuasaan. Kekuasaan itu melebar, memaksa, lalu membutakan. Ketika duduk di kursi kekuasaan, semua serba bisa. Di dalam pemerintahan demokrasi ada bilik-bilik yang menjadi representasi suara yang mewakili. Ada semacam perpanjangan kemauan rakyat. Ada tiga ruang khusus itu: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Di Indonesia, pembagian wilayah kekuasaan itu mulai mendarat sejak sistem pemerintahan demokrasi diadopsi. Ketika diadopsi dan diaprobasi, semua anggota penghuni Indonesia merasa senang. Semua merasa dimerdekakan. Merdeka dari dan untuk. Lantunan apresiasi pun menjalar dari Sabang sampai Merauke. Kita memiliki kebebasan yang dikuasai.

Akan tetapi, paduan suara kemerdekaan untuk dan dari ini sepertinya hanya sebentar. Nostalgia benih-benih Orde Usang masih dibawa serta. Ada korupsi, ada kolusi, juga nepostime. Tiga penyakit ini dikipas-kipas terus biar apinya tetap membara. Semakin diawasi, semakin tak mawas. Semakin diberi peringatan, semakin tak saling ingat. Apalah gunanya pembagian kekuasaan itu jika roti yang disajikan secara merata tetap diperebutkan?

Meng-akali Kekuasaan

Memasuki tahun 2020, semua warga dunia, termasuk Indonesia, dilanda penyakit serius. Tak hanya serius, penyakit ini kadang membuat kita tercengang, terseok-seok, bungkam, tapi sekaligus menantang. Semua sepakat untuk memberi nama pada penyakit menggelobal ini dengan sebutan Virus Corona. Ketika semakin viral, penyakit ini pun dilabeli pandemi.

Ketika virus ini sampai ke Indonesia, semua aparat bangsa berbenah. Dari bilik eksekutif, legislatif, hingga yudikatif, semuanya berbenah. Langkah maju-mundur, gas-rem, genap-ganjil, buka-tutup, lockdown, psbb, dan beragam program lainnya dibubuhi tanda petik sebagai penanda waspada. Benar, memang harus waspada. Ada waspada karena memang virus ini menakutkan dan mematikan, tetapi di sisi lain, kita juga perlu waspada, pandemi virus corona ini bisa menjadi fase berpeluang bagi orang-orang "berkebutuhan khusus."

Di sela-sela hiruk-pikuk menangani pandemi, siaga satu tetap dikelola di setiap instansi. Kenapa demikian? Pandemi virus corona memang memakan biaya. Setiap ranting eksekutif yang menjalar melalui sayap-saya kementerian, berjibakau menggelontorkan dana. Ada bantuan sosial (bansos), ada program keluarga harapan (PKH), bagi sembako, dan banyak hal lainnya. Masyarakat pun senang, tapi tetap was-was. Cela licin saat dana-dana ini dikucurkan memang perlu diantisipasi.

Kenapa perlu diantisipasi? Kemarin ada cerita soal Pak Juliari Batubara, mantan Menteri Sosial yang dipukat karena menyunat dana bansos. Ada juga cerita soal akal-akalan proyek pengadaan alat-alat kesehatan, seperti kongkalingkong dana pengadaan masker yang menjerat sekelompok orang. Jadi, akal-akalan saat pandemi memang memberi peluang. Peluang terbesar adalah mematikan rasa kemanusiaan.

Di kursi legislatif, berita soal proyek "wangi-wangi" anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga diekspos. Apalagi yang kurang dari mereka ini? Di Kota Tangerang, misalkan, riuh diperbincangkan soal dana Rp 675 juta untuk pakaian DPRD. Outfit anggota DPRD Kota Tangerang menjadi trending topic karena merobohkan rasa kemanusian dan solidaritas di masa pandemi. Anggaran pengadaan bahan pakaian wakil rakyat di DPRD Kota Tangerang tahun 2021 loncat dua kali lipat dari tahun sebelumnya, sebesar Rp 312,5 juta.

Hemat saya, inilah wajah akal-akalan dari rezim berkuasa. Ketika berkuasa, semua serba bisa. Minta ini, semua bisa dicairkan. Coba kalau wong cilik yang mematok anggaran demikian, pasti birokrasinya berbelit-belit dan menggantung. Di kursi kekuasaan, semua orang ingin tetap necis dan wangi-wangi. Tak ada yang mau membenamkan refleksi untuk situasi akar rumput. Inilah wajah demokrasi yang berbalut kekuasaan: diakal-akali, biar tetap eksis.

Wajarkah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun