Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Apatheia" sebagai Jalan Merangkul Penderitaan

28 Juli 2021   22:35 Diperbarui: 28 Juli 2021   22:43 2299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang perempuan merasa galau. Foto: tajukmuria.com.

Realitas kehidupan kekal dipahami sebagai suatu "situasi" tanpa penderitaan -- orang terlepas dari berbagai penderitaan, orang disembuhkan, dll. 

Akan tetapi, kehidupan kekal itu tidak harus menunggu hingga kematian tiba. Upaya mencapai kehidupan kekal seharusnya dimulai sekarang dan di sini. Lalu, bagaimana hal itu dapat dicapai?

Evagrius, doktor apatheia, mengatakan bahwa upaya melepaskan diri dari penderitaan harus dimulai dari keberanian untuk memberikan diri (self-giving). Dan, tindakan ini sudah dilakukan oleh Kristus. 

Oleh karena itu, Evagrius mengatakan bahwa "Apatheia has a child called agape." Cinta yang tulus selalu ditunjukkan melalui pengorbanan diri (self-sacrifice).

Apatheia juga dapat dipahami dalam tiga hal berikut. Pertama, apatheia bukan berarti absennya penderitaan. Manusia tidak pernah terlepas dari penderitaan. 

Dalam dirinya, manusia selalu memiliki keinginan dan kecenderungan-kecenderungan tertentu. Hal ini sangat berkaitan erat salah satu elemen pembentuk diri manusia, yakni tubuh. 

Selain itu, kenikmatan adalah salah satu tantangan yang berkaitan dengan upaya menghindari penderitaan. Bahkan seseorang menderita karena tuntutan keinginan tubuh.

Kedua, apatheia bukan berarti hilangnya gairah bernalar. Seringkali orang menyalahkan pikiran ketika ia jatuh pada sesuatu yang mendera dirinya. 

Evagrius mengatakan bahwa segala hal yang membuat seseorang menderita bergantung pada kemampuannya untuk menolak atau menerima tawaran; bukan melulu karena kurangnya pengetahuan. Orang pintar sekalipun bahkan mampu jatuh pada kenikmatan atau hal-hal yang membuat dirinya tersandera.

Ketiga, apatheia merupakan kekuatan yang muncul dari dalam diri seseorang untuk menolak penderitaan atau kecenderungan untuk jatuh pada hal-hal yang buruk. 

Maka, peran hati di sini menjadi penting sebagai ruang dialog sebelum memutuskan sebuah tindakan. Perintah dari dalam hati -- hati sebagai tempat kediaman Allah -- membantu seseorang untuk membuat sebuah keputusan. 

Berkaitan dengan hal ini, kita perlu belajar banyak dari Maria. Dalam berdialog dengan utusan Allah, Maria menggunakan logika hati. Bahkan Maria, menyimpan semua peristiwa sejarah bersama Putra-Nya di dalam hatinya (bdk. Luk 2:51b).

Apatheia juga dikaitkan dengan kasih. Dalam hal ini, apatheia lebih dilihat sebagai tanggung jawab, pemberian-pengorbanan diri sekaligus menghidupi ketaatan. Contoh paling nyata dari semuanya ini adalah pengorbanan Kristus di Salib. 

Cinta yang tulus dengan mengorbankan nyawa adalah bagian dari menghidupi penderitaan -- apatheia bukan berarti absennya penderitaan. Kasih itu, dalam hal ini, juga dibangun melalui komunikasi vertikal -- Allah dan manusia. "If we genuinely love God, we cast out the passions by this very love." 

Selain dikaitkan dengan kasih atau pemberian diri (agap), apatheia juga dikaitkan dengan suatu keadaan tanpa dosa (sinlessness). Rupanya pengertian ini masih dipengaruhi oleh tradisi Yahudi yang melihat penderitaan sebagai hukuman atas dosa. 

Dalam Kitab Suci, seseorang yang menderita sakit dianggap sebagai orang berdosa. Maka, cara untuk keluar dari situasi ini adalah dengan berdoa (the state of prayer is like a barometer of the spiritual life).

Tanda bahwa seseorang terlepas dari berbagai penderitaan (dispassions) adalah ketika ia bisa berdoa dengan tenang kepada Tuhan (one prays 'without distractions'). 

Di Barat, gagasan tentang apatheia ini justru diperdebatkan. Para pemikir Barat justru melihat bahwa secara kodrati, manusia tidak pernah lepas dari berbagai penderitaan. 

Bagi mereka, penderitaan adalah sesuatu yang wajar dalam diri manusia. Maka, kata apatheia, lebih akrab dengan istilah ketenangan jiwa (peace of soul).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun