Berkaitan dengan hal ini, kita perlu belajar banyak dari Maria. Dalam berdialog dengan utusan Allah, Maria menggunakan logika hati. Bahkan Maria, menyimpan semua peristiwa sejarah bersama Putra-Nya di dalam hatinya (bdk. Luk 2:51b).
Apatheia juga dikaitkan dengan kasih. Dalam hal ini, apatheia lebih dilihat sebagai tanggung jawab, pemberian-pengorbanan diri sekaligus menghidupi ketaatan. Contoh paling nyata dari semuanya ini adalah pengorbanan Kristus di Salib.Â
Cinta yang tulus dengan mengorbankan nyawa adalah bagian dari menghidupi penderitaan -- apatheia bukan berarti absennya penderitaan. Kasih itu, dalam hal ini, juga dibangun melalui komunikasi vertikal -- Allah dan manusia. "If we genuinely love God, we cast out the passions by this very love."Â
Selain dikaitkan dengan kasih atau pemberian diri (agap), apatheia juga dikaitkan dengan suatu keadaan tanpa dosa (sinlessness). Rupanya pengertian ini masih dipengaruhi oleh tradisi Yahudi yang melihat penderitaan sebagai hukuman atas dosa.Â
Dalam Kitab Suci, seseorang yang menderita sakit dianggap sebagai orang berdosa. Maka, cara untuk keluar dari situasi ini adalah dengan berdoa (the state of prayer is like a barometer of the spiritual life).
Tanda bahwa seseorang terlepas dari berbagai penderitaan (dispassions) adalah ketika ia bisa berdoa dengan tenang kepada Tuhan (one prays 'without distractions').Â
Di Barat, gagasan tentang apatheia ini justru diperdebatkan. Para pemikir Barat justru melihat bahwa secara kodrati, manusia tidak pernah lepas dari berbagai penderitaan.Â
Bagi mereka, penderitaan adalah sesuatu yang wajar dalam diri manusia. Maka, kata apatheia, lebih akrab dengan istilah ketenangan jiwa (peace of soul).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H