Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bahaya Bangunan Politik Pencitraan

25 Juni 2021   20:53 Diperbarui: 25 Juni 2021   20:54 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi peta politik pencitraan. Foto: amp.kompas.com.

Citra adalah jualan politik yang laku dipasar. Ketika media sosial lahir dan mulai dipakai sebagai sarana berkomunikasi, ada upaya lain dari setiap warga untuk membentuk sebuah ruang lencana baru. Di media sosial, berbagai jenis produk jualan ditawarkan. Ada produk berbaju bisnis, ada pula yang berbaju citra.

Di portal bisnis, media sosial berperan penting untuk membentuk kemauan dan harapan pebisnis. Biasanya, produk jualan dijajak dengan mengemas branda yang lugu di mata. Etalase bisnis memang memuat ragam tawaran yang menggiurkan. Dengan koleksi desain produk yang menarik, penghuni jagat maya biasanya bersimpuh dan merenggang harapan. Itu soal portal bisnis di media sosial. Lalu bagaimana dengan jualan produk gagasan juga diri di media sosial?

Menjelang pesta bergensi bertajuk "demokrasi" jualan politik dengan lencana pencitraan sungguh menggiurkan. Jika dulu para pemburu kursi kekuasaan melakukan manuver secara konvensional -- turun ke jalan dengan menenteng atribut kampanye dan benar-benar bekerja -- sekarang, manuver politik itu justru bermain melalui portal media sosial. Media sosial, dalam hal ini berfungsi sebagai sarana untuk menampung, mendesain, serta mentransfer panorama citra: diri para pemburu kursi kekuasaan menuju tampuk keninggratan dan aku yang menguasai.

Proyek pencitraan memang kental hadir dalam pemilu 2008 di Amerika Serikat. Di Negeri Paman Sam, kala itu, manuver politik bergelinding dengan roda media sosial: facebook, twitter, dan YouTube. Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, misalnya memainkan alat praga kampanye politik melalui cuitan di medsos. Para pendukung Trump membagikan atribut kampanye dan memengaruhi warga dengan jualan visi-misi ruang maya. Alhasil, Trump meraup keuntungan. Bisnis baju politik di ruang maya menyentuh harapan.

Di Indonesia, manuver politik juga mulai bergerak di media sosial pada pemilu 2014. Dengan kampanye hitam yang mengadopsi ideologi atribut agamis, peta perpolitikan Indonesia diserbu massa. Perang ide, gagasan, bahkan isu-isu hitam dijual di media sosial. Tak ada yang bisa melerai. Di ruang maya tanpa identitas yang jelas, semua warga diberi kebebasan berekspresi. Citra, lagi-lagi dijual dan didesain demi mengejar tampuk kekuasaan.

Citra, hemat saya merupakan jualan politik yang tak bertumpu. Ketika jualan politik berbau citra hadir mengerumuni ruang maya, kualitas pribadi mudah diprediksi. Pertanyaannya: "Benarkah? Jujurkah orang-orangnya?" Mari membangun penalaran panjang dan bijak mengkritisi!

Ketika seorang calon pemimpin mengejar kursi kepemimpina dengan desain pencitraan, kualitas kepemimpinannya, hemat saya perlu dicermati lebih dalam. 

Politik pencitaan dengan kanvas media sosial, sejatinya hanya berusaha membentuk postur pedagogi politik yang koruptik, kolusi, nepotisme. Kenapa demikian? 

Jawabannya karena politik pencitraan hanya membius warga dengan kualitas pribadi yang tak jujur dan dasar rapuh. Di dalam skema politik pencitraan, ada keegoisan dan ambisi akusentrisme yang tengah dikejar.

Politik pencitraan tak lain merupakan gambaran akurat dari libido berkuasa. Di dalam produk jualan politik di media sosial yang hadir melalui postingan "aku yang berbuat apa, di sini dan saat ini" (update) indeks kualitas diri pemimpin ditelisik. Melalui media sosial, aku dikenal dan diapresiasi. 

Aku diberi banyak like dan komen. Aku kemudian dijadikan tontonan yang digotong dengan sebuah harapan bahwa kelak aku menjadi dominasi. Di sini peta pencitraan politis dibangun.

Saya mengamati bagaimana politik pencitraan di media sosial memainkan peranan akut, tapi riuh dalam ruang demokrasi saat ini. 

Ketika politik pencitraan ini berhasil, level kegoisan itu semakin tampak melalui keinginan berkuasa dengan durasi yang tak terbendungi. Inilah citra politik: menarik massa dengan dokumentasi pribadi agar aku dan libido berkuasa-ku dilirik. Hati-hati!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun