Ketika semua orang "mencuci tangan" usai peristiwa penyaliban, Maria dan beberapa wanita lainnya memilih bertahan di kaki salib. Mereka meratap, memeluk kaki salib, dan mengusap darah yang jatuh membasahi bumi.Â
Maria tak ingin Putranya tergantung berlama-lama di palang penghinaan sementara orang lain beramai-ramai merayakan Paskah Yahudi. Maka, dari itu, Maria berinisiatif untuk menguburkan Putranya secara layak dan pantas.Â
Pelukan dan dekapan terakhir Maria cukup lama usai Yesus diturunkan dari salib. Betapa pedih hati seorang ibu menyaksikan Putranya sendiri mati menggenaskan di atas kayu salib.
Kepedihan Maria diisi di sekujur Sabtu. Maria membalut Sabtu dengan keheningan, tatapan kosong, dan harapan. Dalam keheningan, Maria membenamkan harapan bahwa Putranya kelak bangkit sebagai Juruselamat.Â
Ia percaya. Ia tak berhenti di Sabtu yang tergeletak kosong. Maria berusaha mengubah Sabtu menjadi sebuah akhir pekan yang membawa harapan dan kehidupan baru.
Dari ratapan bisu Bunda Maria, Sabtu berubah suci. Sabtu berubah putih. Sabtu berubah menjadi sukacita. Sabtu mengubah galau. Kehidupan baru ditawarkan saat Sabtu membenamkan lampu.Â
Sabtu mengubah kekosongan menjadi sebuah kehidupan baru. Sebelum menyentuh kabar kebangkitan Tuhan Yesus, Maria tetap menjaga Sabtu 'tuk selalu nyepi dan bercadar. Maria tetap menjaga Sabtu menjadi momen suci.
Bersama Maria yang tengah berduka atas kepergian Yesus, orang-orang yang menaruh kepercayaan kepada-Nya pun ikut mendekorasi Sabtu.Â
Sabtu tetap kosong. Sabtu tetap nyepi. Sabtu akhirnya ikut menghimpun suci. Mari menanti kebangkitan Yesus Kristus dengan nyepi bersama Maria. Per Mariam ad Jesum!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H