Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kenapa Aku Suka Korupsi dan Minta Disuap?

5 Maret 2021   08:16 Diperbarui: 5 Maret 2021   08:28 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KPK tengah menyelidiki kasus suap pejabat Direktorat Jenderal Pajak. Foto: kompas.com.

Jika tak selesai dengan diri sendiri, seseorang biasanya berusaha mencari-cari sesuatu di luar diri. Merasa cukup dengan apa yang menjadi tanggung jawab dan tugas adalah salah satu ciri orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. 

Akan tetapi, jika saya belum selesai dengan diri sendiri, boleh jadi saya akan mencaplok apa yang bukan menjadi bagian saya. Nah, suap adalah tanda orang yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Mereka yang disuap adalah orang-orang yang belum bisa mandiri.

Sudahkah saya selesai dengan diri sendiri? Jika sudah, tak ada lagi sebetulnya kecurigaan ketika saya diberi tanggung jawab baru untuk kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. 

Katakanlah, ketika saya sudah merasa cukup dengan penampilan saya -- cantik atau ganteng -- tak perlu lagi sebetulnya saya mencari aksesoris lain untuk memperelok penampilan. 

Jika saya merasa sudah cukup dengan gaji yang saya peroleh dari hasil kerja dan tanggung jawab saya, tak ada salahnya saya menerima tanggung jawab lain yang dipercayakan kepada saya.

Lalu, kenapa masih ada orang yang suka memalak, mencaplok, dan mengambil sesuatu yang bukan miliknya? Kenapa masih ada orang yang gemar korupsi? Jangan terlalu jauh menebak. 

Mereka yang suka korupsi artinya mereka belum selesai dengan dirinya sendiri. Elemen-elemen dalam dirinya, sebetulnya belum menyatu secara sempurna. Ketika elemen-elemen ini belum menyatu, maka dicarilah upaya ekstra untuk membuatnya menjadi satu. 

Biasanya, dengan uang. Dengan uang, kepenuhan diri serasa diakumulasi dan menjadi cukup. Nah, uniknya untuk mendapatkan uang, cara-cara tak halal dihalalkan.

Satu lagi informasi baru terkait korupsi. Ada oknum pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DPJ) terlibat dalam kasus suap pajak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tengah membidik pejabat pajak (MI, 4/3/2021). 

Dulu ada Gayus Tambunan. Gayus diketahui melakukan manipulasi pajak dan pencucian uang. Gayus kala itu bahkan membuktikan bahwa ia belum selesai dengan dirinya sendiri. 

Fakta ini terlihat ketika ia masih bisa bebas main ke Bali. Gayus dihukum, tetapi tendensi kebutuhan diri yang belum selesai tetap mengular. Kali ini, KPK masih melakukan penyelidikan terkait oknum pejabat DJP yang terlibat kasus korupsi.

Bicara soal korupsi tentu tak pernah lepas dari uang. Bahkan untuk menyatukan diri yang belum tergabung seutuhnya, orang butuh uang. Ketika uang menjadi segala-galanya, semua cara pun dipakai. Korupsi itu kan soal maling. 

Seorang maling tidak akan pernah selesai dengan dirinya sendiri. Ia selalu mencari, dan terus mencari. Di mata seorang maling, hidup itu ada dalam hitungan kesekian setelah uang. Di masa pandemi ini saja, dua menteri sudah dipukat KPK. 

Ada Pak Edhy Prabowo dan Pak Juliari Batubara. Bagi mereka, uang adalah segala-galanya. Untuk kebutuhan apapun, uang memberi selusin solusi.

Jadi, uang, korupsi, dan diri yang belum selesai adalah tiga unsur yang saling bertautan. Di mana ada uang, di situ ada korupsi. Di mana ada koruptor, di sana definisi diri tak akan pernah menyatu. 

Seandainya semua pejabat negeri ini selesai dengan dirinya sendiri, saya yakin kita tak lagi berurusan dengan sembelit dan gurita korupsi. 

Jika semua pejabat negeri ini merasa cukup dengan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya, tak perlu didirikan lembaga khusus seperti KPK untuk membidik dan menyelidik. Kenapa koruptor tak pernah selesai dengan diri sendiri?

Ketika ditangkap, seorang koruptor mulai selesai dengan diri sendiri. Ada yang mengakui kesalahan, menyesali, dan meminta maaf. Loh, kenapa penyatuan diri itu selesai saat ditangkap? 

Kenapa upaya untuk menyatu dengan diri sendiri dan merasa cukup itu muncul saat bidikan sudah terlampau mengena? Apakah menjadi seorang pejabat publik yang integral, jujur, bijak, dan melayani harus mengalami masa kurungan dulu? 

Atau haruskah diri yang tak pernah merasa cukup, merasa dipenuhi usai orang lain mengalami situasi melarat dan sengsara? Uang, korupsi, dan diri yang tak pernah selesai memang butuh terapi. Kurungan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun