Bicara soal korupsi tentu tak pernah lepas dari uang. Bahkan untuk menyatukan diri yang belum tergabung seutuhnya, orang butuh uang. Ketika uang menjadi segala-galanya, semua cara pun dipakai. Korupsi itu kan soal maling.Â
Seorang maling tidak akan pernah selesai dengan dirinya sendiri. Ia selalu mencari, dan terus mencari. Di mata seorang maling, hidup itu ada dalam hitungan kesekian setelah uang. Di masa pandemi ini saja, dua menteri sudah dipukat KPK.Â
Ada Pak Edhy Prabowo dan Pak Juliari Batubara. Bagi mereka, uang adalah segala-galanya. Untuk kebutuhan apapun, uang memberi selusin solusi.
Jadi, uang, korupsi, dan diri yang belum selesai adalah tiga unsur yang saling bertautan. Di mana ada uang, di situ ada korupsi. Di mana ada koruptor, di sana definisi diri tak akan pernah menyatu.Â
Seandainya semua pejabat negeri ini selesai dengan dirinya sendiri, saya yakin kita tak lagi berurusan dengan sembelit dan gurita korupsi.Â
Jika semua pejabat negeri ini merasa cukup dengan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya, tak perlu didirikan lembaga khusus seperti KPK untuk membidik dan menyelidik. Kenapa koruptor tak pernah selesai dengan diri sendiri?
Ketika ditangkap, seorang koruptor mulai selesai dengan diri sendiri. Ada yang mengakui kesalahan, menyesali, dan meminta maaf. Loh, kenapa penyatuan diri itu selesai saat ditangkap?Â
Kenapa upaya untuk menyatu dengan diri sendiri dan merasa cukup itu muncul saat bidikan sudah terlampau mengena? Apakah menjadi seorang pejabat publik yang integral, jujur, bijak, dan melayani harus mengalami masa kurungan dulu?Â
Atau haruskah diri yang tak pernah merasa cukup, merasa dipenuhi usai orang lain mengalami situasi melarat dan sengsara? Uang, korupsi, dan diri yang tak pernah selesai memang butuh terapi. Kurungan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H