Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Bagaimana Yesus Menginterpretasi Hukum Orang Yahudi?

14 Februari 2021   07:23 Diperbarui: 14 Februari 2021   07:25 1143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2020 hingga 2021 boleh dibilang tahun pilah penuh pilu. Tahun pilah karena kita mengasingkan diri, sekaligus diasingkan. Tahun batas, juga tahun pembatas. Tahun dikecualikan, dipisahkan. Tahun dimana, ada pembatas. Tahun dimana masker memberi jarak. Ya memang, dua tahun ini, jarak adalah kekuatan di balik ketegaran kita untuk berdiri hingga detik ini.

Persis tak ada yang merangkul. Jika saudaramu baru pulang karena lama merantau atau bekerja di tempat lain, berpelukan dan merangkul adalah sesuatu yang menakutkan. 

Bahkan, sekarang, hal itu sudah menjadi tabu di mata banyak orang. Jika pulang rumah, Anda wajib menjaga jarak dan dianjurkan 'tuk menghindari kontak dengan banyak orang. Anda dikarantina. Ini hukum yang berlaku. Ini kebijakan yang disepakati bersama. Dari tempat yang asing, Anda kembali ke tempat asal untuk diasingkan pula.

Untuk saat ini, uang tak lagi dilihat sebagai kekuatan hidup. Hidup bersama, dimana interaksi menjadi kekuatan membangun hidup itu sendiri (karakter sosial) seorang manusia, justru dilihat sebagai malapetaka. Situasi saat ini, boleh jadi membuat kita semua sangat membenci kebersamaan. 

Sebaliknya, mengasingkan diri, menjauhi kerumunan, dan membuat batas dengan portal dan masker, adalah sarana mempertahankan hidup. Hal ini diatur oleh pemerintah dan dituruti warga. Hal ini diwajibkan otoritas pemimpin agama dan diamini umat. Siapa membantah, siap-siap masuk penjara. Siapa tak taat, ia digebuk pagebluk.

Situasi di atas, tak terlalu jauh dari kisah bacaan-bacaan yang direnungkan pada Hari Minggu Biasa VI ini. Dalam bacaan I, Kitab Imamat mengisahkan bagaimana hukum mengasingkan mereka yang dicap khusus dalam masyarakat. 

"Orang yang sakit kusta harus berpakaian cabik-cabik, dan rambutnya terurai. Ia harus menutup mukanya sambil berseru: Najis! Najis! Selama ia kena penyakit, ia tetap najis. Memang ia najis. Ia harus tinggal terasing. Ia harus tinggal di luar perkemahan tempat kediamannya" (Imamat 13:44-46).

Orang kusta di lingkungan budaya orang Israel zaman itu, memang merasa sakit yang luar biasa. Tragis dan memilukan. Selain sakit karena kusta itu sendiri, sakit psikis karena dirajam stigma dan pelabelan, juga ikut memengaruhi kehidupan harian mereka. Hukum menyeleksi ruang khusus untuk mereka. 

Hukum membatasi ruang gerak mereka. Dan, hukum pula-lah yang mengkarantina mereka dalam penderitaan semasa hidup. Di luar hukum, ada suara-suara hakim. Suara hakim datang untuk memberi penegasan bahwa mereka yang kusta ini bukanlah bagian dari sesama manusia. Untuk itu, mereka diasingkan.

Sakit dan tragis, tapi kenyataannya memang demikian. Yang kusta, yang bepenyakitan, yang dilabeli, dan yang diteriaki najis-najis, adalah orang-orang buangan. Mereka wajib disingkirkan, diasingkan, dikeluarkan dari keramaian-kerumunan-kebersamaan. Mereka perlu diberi tempat khusus. 

Mereka perlu diisolasi dan dikarantina. Dengan demikian, mereka bukan manusia. Siapa yang merawat mereka? Siapa yang mau peduli dengan mereka? Anda peduli, artinya Anda siap-siap dihukum. Anda merawat, berarti Anda adalah bagian dari mereka. Maka, demi kenyamanan, kadang orang memilih suara mayoritas -- ikut mengasingkan orang-orang demikian karena takut dirajam tetangga dan lingkungan sekitar.

Di masa pandemi ini, keterasingan justru dialami oleh para pasien Covid-19. Meski tak seserem kusta, Covid-19 justru lebih memenjara. Ketika saya atau Anda diketahui terpapar Covid-19, teriakan banyak orang akan memekik telinga. Covid! Covid! Segera digeledah. Segera diasingkan. Segera panggilkan ambulance dan pindahkan orang ini agar tak merusak kehidupan bersama. Biar dia sendiri. Biar dia diisolasi. Biar dia diasingkan untuk sementara waktu atau untuk sepanjang waktu. Bedanya, mereka yang terpapar Covid-19 tetap dirawat. Ada tim khusus yang menangani mereka. Meski dirawat, sakit yang mendera pasien justru tetap ada, karena ia merasa diasingkan dan disingkirkan dari lingkungannya.

Konteks Perjanjian Lama memang berbeda. Dalam Perjanjian Baru, hukum mulai dievaluasi. Revolusi lahir dari sosok Yesus. Ia datang menginterpretasi hukum. Di dalam pikiran-Nya, hukum terbuka untuk ditafsir. Jika tidak ada penafsiran, untuk apa ada hakim. Hukum tanpa penafsiran sama halnya dengan hidup tanpa refleksi dan pemaknaan. Jika hukum ditelan bulat-bulat sesuai dengan teks yang tertulis, saran saya, masukan saja materi hukum itu ke dalam komputer biar alat itu yang memberi tahu hasil, apakah seseorang melanggar hukum atau tidak.

Yesus dalam kisah Injil hari ini (Markus 1:40-45) datang sebagai penafsir hukum. Dari penafsiran atas hukum yang ada, Ia kemudian bertindak sebagai hakim yang adil. Ia menangani perkara dengan adil. Dalam perkara kali ini, Yesus berhadapan dengan seorang yang sakit kusta. Menurut tradisi hukum orang Israel, orang-orang kusta tak boleh ada di tengah kerumunan. Mereka wajib disingkirkan. Mereka perlu diisolasi. Panggung mereka bukan di kota. Mereka lebih cocok tinggal di tempat khusus. Diisolasi. Dikarantina.

Akan tetapi, Yesus melihat penerapan hukum yang demikian justru membuat manusia teralienasi dari dirinya sendiri, juga lingkungannya. Yesus justru melihat ketentuan hukum dan pelabelan masyarakat atas orang kusta, dengan sendirinya merusak martabat manusia sebagai citra Allah. Mengasingkan berarti mengeluarkannya dari kelompok dan lingkungan saya. Itu berarti, kita tengah menolak unsur kemanusiaannya secara yuridis dan sosiologis. Prinsip demikian, ditolak oleh Yesus.

Untuk membuat hukum lebih dekat dengan kehidupan manusia, Yesus melakukan beberapa tahapan berikut. Pertama, Ia peduli dengan si kusta. Dalam ilmu hukum dan penanganan perkara, seorang hakim pertama-tama terbuka dan mau menerima pengaduan atau persoalan yang tengah ditangani. Jika tidak jatuh cinta sama perkara, otomatis proses penyelesaian perkara tidak akan berjalan baik. Bukti kepedualian Yesus muncul dari pernyataan demikian: "Maka, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan" (Markus 1:40).

Kedua, Yesus mengidentifikasi perkara dan pihak yang berperkara. "Yesus mengulurkan tangan-Nya dan menjamah orang itu" (Markus 1:40). Hakim yang adil akan melakukan hal yang sama ketika menangani perkara. Sedapat mungkin ia "menjamah persoalan, pelapor, dan terlapor," lalu mulai mengadili. 

Dalam hal ini, Yesus tidak hanya berpegang pada kekuatan hukum semata, tetapi bagaimana interpretasi atas hukum yang notabene dibuat untuk kebaikan bersama -- bukan merusak kehidupan bersama atau menghukum seseorang -- dicermati dengan bijak dan tepat. Yang dicari dalam proses identifikasi ini adalah keadilan, bukan hukuman.

Ketiga, Yesus mengadili dan membuat putusan. Setelah mengidentifikasi, pekerjaan selanjutnya adalah menetapkan. Kata mengadili, hemat saya bisa ditarik dari upaya Yesus untuk menyembuhkan si kusta. "Seketika itu juga, lenyaplah penyakit si kusta" (Markus 1:42). 

Di sini, Yesus hadir sebagai hakim yang berusaha mengadili perkara untuk kebaikan bersama. Ia mengembalikan mereka yang selama ini terasing dan diasingkan ke lingkungan yang normal -- biar mereka hidup bersama seperti orang lain. Fungsi hukum dalam hal ini adalah mengedukasi seseorang agar kembali ke masyarakat sebagai pribadi yang baik.

Keempat, Yesus mengutus dan mengajukan naik banding atau peninjauan ulang atas perkara yang sudah diputuskan. Hemat saya, hal ini bisa dilihat dari pernyataan Yesus: "Pergilah! Perlihatkanlah dirimu kepada imam, dan persembahkanlah untuk pentahiranmu, persembahan yang diperintahan Musa, sebagai bukti bagi mereka" (Markus 1:44). 

Dalam hal ini, Yesus ingin semua orang mengevaluasi dan mencermati putusan yang telah dibuat. Jika ada yang keliru, mari kita cermati ulang secara bersama. Imam sebagai penjaga hukum Taurat kala itu, adalah institusi Yuridis yang bisa dijadikan pembanding dan pembuktian atas perkara yang dibuat.

Tiga tahap ini, sejatinya menunjukkan bahwa Yesus bertindak sebagai hakim yang adil. Ia datang bukan sebagai hakim yang menghukum, tetapi lebih dari itu, yakni hakim yang mengadili. Ia datang, bukan mempertegas situasi keterasingan mereka yang sakit atau tersingkirkan, tetapi merangkul dan membawa mereka kembali ke kehidupan bersama agar diterima oleh sesamanya. Dengan kata lain, Yesus datang agar martabat dan citra manusia dipulihkan keterasingannya oleh karena hukum dan label sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun