Gong Xi Fa Cai! Selamat Tahun Baru Imlek 2572. Meski diberi latar khusus pandemi Covid-19, banjir ucapan dan seremoni imlek tetap diadakan. Hal ini menandakan betapa kebudayaan tertentu memiliki arti khusus bagi mereka yang memeluknya. Pada Hari Raya Imlek 2021 ini, saya berusaha membagikan catatan seputar Buddha dan panoramanya. Â
Pluralisme agama dan kepercayaan adalah sebuah kenyataan yang selalu menarik untuk dikaji. Kisah banyaknya perang dan perebutan kekuasaan ataupun perebutan pengaruh antara agama-agama di masa lampau selalu menjadi peristiwa monumental yang mendorong manusia untuk selalu memaknai setiap  peristiwa tersebut.
Agama selalu mempunyai daya tariknya sendiri dalam menggalang pengikutnya sebanyak-banyaknya. Perkembangan agama selalu melahirkan sebuah corak pemikiran baru. Aspek baru yang ditawarkan oleh sebuah agama atau kepercayaan selalu mengajarkan hal-hal yang membantu manusia sendiri dalam proses perkembangan kehidupannya.Â
Banyaknya kepercayaan dan agama yang ada, tentunya memperkaya manusia di satu sisi dan sisi lain menciptakan kebingungan. Masing-masing agama mempunyai Tuhan-nya sendiri, dan masing-masing pemeluk agama memiliki sebutan untuk sesuatu yang diwahyukan. Misalnya, Yesus yang diimani oleh oleh Kristen atau Muhammad oleh orang Islam.
Dalam agama Buddha, kita mengenal Siddhartha Gautama -- orang pertama dalam agama Budhha yang mengalami pencerahan (enlightenment) sekaligus pendiri agama Buddha. Agama Buddha lahir di India dan berkembang di berbagai belahan dunia. Agama Budhha terbagi dalam dua aliran mayor, diantaranya aliran Buddha Theravada dan Buddha Mahayana. Buddha bukan sebuah nama untuk seseorang seperti Tuhan -- dalam agama Katolik -- tetapi lebih pada artian sesorang yang mendapat pencerahan (enlightenment one).
Â
Yang Ilahi dalam Agama Buddha
Agama Buddha tidak menerima argumen tentang Tuhan sebagai pencipta alam dari ketiadaan -- seperti yang diklaim oleh agama Katolik. Akan tetapi, agama Buddha mengklaim bahawa pikiran (mind) yang menjadi sesuatu yang harus ditransformasi. Agama Buddha percaya pada sabda Sang Buddha -- orang pertama yang mendapat pencerahan.
Cita-cita religius Buddha adalah pembebasan dari perbudakan dan kelahiran kembali, dari kematian dan derita, singkatnya untuk memperoleh kedamaian dan kesadaran yang lebih tinggi dalam nirvana. Kehadiran Sang Buddha ditunjukkan secara simbolis dengan sebuah pohon (enlightenment), sebuah stupa, sebuah roda (dharma), atau dengan jejak kaki; karena dikhawatirkan bahwa setelah kematian Sang Buddha, orang akan memuja suatu gambaran yang berbentuk pribadi.
Paham tentang yang kudus dialami melalui ketenangan batiniah dan ketidakacuhan tubuh. Dalam meditatif yang khusyuk, segala sesuatu berada dalam ketenangan. Dalam paham Buddha Mahayana, kekudusan paling ideal diungkapkan dalam Bodhisattva -- seseorang yang hakikat jati dirinya digerakkan oleh hasrat untuk memperoleh penerangan penuh, yaitu menjadi seorang Buddha, yakni Buddha yang dukuasai oleh dua kekuatan: belas kasih dan kebijaksanaan.
Buddha tidak pernah mengklaim dirinya sebagai seorang penyelamat (Savior) seperti Yesus dalam agama Katolik. Menyoal eksistensi Yang Ilahi, Sang Buddha memilih diam. Diam Sang Buddha adalah upaya menghilangkan berbagai pemahaman yang salah. Yang Ilahi yang dihayati oleh agama Buddha seperti dirahasiakan dengan bersikap diam berhormat. Maka makna hidup bagi umat Buddhis bernada etis. Ajaran Bodhisattva dalam Buddhisme Mahayana mempunyai makna yang luas dalam konsep keselamatan.
Kaum Theravada menganggap Buddha hanya sebagai pendamping yang tidak bisa keliru -- yang menunjukkan jalan nyata menuju keselamatan -- dan keselamatan itu sendiri merupakan kepentingan individu serta tergabung dalam usaha individu sendiri.
Alam Semesta sebagai SahabatÂ
Agama Buddha tidak berbicara mengenai penciptaan. Mengenai penciptaan itu sendiri Sang Buddha memilih diam. Sang Buddha melihat alam sebagai bagian yang tak terpisahkan dari manusia. Agama Buddha sangat bersahabat dengan alam. Alam, menurut umat Buddhis adalah sesama yang harus dirawat, dijaga dan dipelihara. Konsep ini lahir dari pandangan tentang kelahiran kembali atau reinkarnasi (rebirth). Paham reinkarnasi mempengarui corak berpikir umat Buddhis akan alam semesta.
Umat Buddhis percaya bahwa, setelah hidup di dunia fana ini, sesorang akan mengalampi proses kelahiran kembali dengan rupa yang berbeda -- tergantung pada sikap dan tingkah lakunya semasa ia hidup. Dunia dalam pandangan umat Buddha adalah sesuatu yang berwujud kasar dan untuk mencapai suatu keadaan yang halus, sesorang harus menciptakan keheningan melalui meditasi. Dalam agama Buddha dipercaya bahwa manusia dan binatang sama-sama mengalami reinkarnasi. Suatu saat manusia akan mengalami rupa seperti hewan atau pada kesempatan berbeda hewan akan berubah menjadi manusia. Jadi, manusia dalam pandangan Buddhis tidak jauh berbeda dengan binatang, yakni sama-sama mengalami penderitaan (suffering).
Relasi Manusia dan Sesamanya
Etika Buddhis mengajarkan tentang kebahagiaan -- di mana tidak ada penderitaan. Umat Buddha berusaha melepaskan penderitaan (samsara) melalui meditasi. Meditasi dipercaya sebagai instrumen yang membantu seseorang terbebas dari derita (suffering). Memahami relasi societas dalam agama Buddha selalu dipengarui oleh dua aliran besar yang berdiri kokoh dalam agama Buddha, yakni aliran Theravada dan aliran Mahayana.
Dua aliran ini, memiliki cara pandang yang berbeda, dan ini berimplikasi pada relasi intersosial kehidupan bermasyarakat. Ditinjau dari konsep keselamatan masing-masing, kita bisa melihat betapa kontrasnya ekspektasi dua aliran besar ini. Mahayana memperkenalkan konsep keselamatan kepada setiap orang dengan pola struggle untuk orang lain (public salvation), sedangkan Theravada lebih memperkenalkan jalan menuju keselamatan melalui sabda Sang Buddha -- keselamatan menjadi usaha setiap individu.
Oleh karena dua model pandangan ini, muncul sebuah kesimpulan prematur bahwa relasi interpersonal dan intersocietas sangat dipengarui oleh prospek dua model ajaran ini -- dua model relasi yakni, eksklusivitas dan inklusivtas. Realitas yang nampak sekarang adalah dasar analisis atas pandangan mengenai umat Buddha akan persaudaraan (fraternity). Kontribusi Buddhis dalam hal politik, sosial dan budaya juga sangat bergantung pada cara pandang dua aliran besar di atas, yakni Mahayana dan Theravada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H