Apakah Tuhan bisa disogok atau disuap? Di ruang ICU, IGD, dan ICCU, pengalaman tawar-menawar dengan Sang Pemilik Kehidupan justru terlihat. Segala upaya, baik dari tim medis maupun dari para pasien sendiri dalam mempertahan kehidupan sampai pada sebuah situasi serba terbatas.Â
Antara hidup dan mati, kadang mengalami situasi tawar-menawar. Jika masih mau hidup, aku sebagai pasien akan berusaha sekuat tenaga dibantu oleh tim medis. Jika, memang tak sanggup, aku akan pasrah pada kehendak Tuhan.
Sampai pada titik menenami mereka yang tengah sekarat, aku diarahkan untuk mendalami makna kehidupan dan siapa sesamaku. Pertanyaan seputar sesamaku adalah sebuah pertanyaan eksistensial terutama ketika sesamaku menuntut sebuah tindakan konkret dariku.Â
Saya merasakan pengalaman eksistensial ini, ketika berdinamika di Rumah Sakit berbeda, yakni di RS Panti Rapih Yogyakarta dan RS Brayat Minulya Solo. Dari dinamika di dua tempat berbeda ini, ada begitu banyak pertanyaan yang muncul sebagai bahan pergulatan pribadi.
Dari dua RS yang ada, saya dan beberapa teman berhasil melayani hampir 50 pasien di beberapa tempat pelayanan - bangsal, ICCU, ICU, IMC, IGD, kamar mayat, dll.Â
Para pasien datang dari berbagai latar belakang keyakinan, baik Katolik, Muslim, Hindu, dan Budha. Pasien dengan beragam latar belakang ini, tidak membuat kami berhenti menyapa dan berdialog.Â
Dari perjumpaan kami dengan para pasien, sejatinya ada banyak pasien yang mengalami banyak kesulitan selama menjalani masa pemulihan. Kadang ada pasien yang ditemani keluarga, akan tetapi banyak juga pasien yang mengalami kesendirian, bergulat dengan sakit yang diderita tanpa pendapingan siapapun.
Perjumpaan dengan para pasien dan kelurga pasien menoreh banyak kisah. Sebagian besar pasien dan keluarganya sangat welcome ketika menerima kami.Â
Kehadiran kami setidaknya menjadi salah satu "terapi khusus" di sela-sela proses pemulihan mereka. Hal menarik yang patut kami syukuri adalah kerelaan dan kesediaan pasien untuk berdialog. Hal ini tentunya cukup berat dan sulit karena di tengah kondisi fisik, psikis, dan banyak persoalan lainnya, pasien justru mau berbagi dan terbuka.
Di tengah proses pemulihan, ada banyak reaksi yang diperlihatkan saat berdialog, diantaranya ada yang menangis, ada yang merintih karena kesakitan, ada yang hanya bisa pasrah, serta ada pula yang mulai membeberkan kondisi ekonomi-keluarga-harapan dimana semuanya sangat memperihatinkan untuk didengar. Di beberapa tempat, seperti ruang-ruang kritis (ICU & IGD), para pasien justru berontak karena tidak percaya dengan situasi yang menimpa mereka.
Akan tetapi, di tengah semua pengalaman ini, tak sedikit pasien yang kebingungan dan takut dengan kehadiran kami. Status kami yang asing dan baru di RS membuat mereka menampilkan reaksi yang negatif. Akan tetapi, semua ini bisa dipahami sebagai sebuah bentuk kejutan di perjumpaan awal.Â
Reaksi negatif di awal perjumpaan, biasannya hanya bisa bersifat sesaat, dan ketika tenggelam dalam dialog dan saling mengerti, kerterbukaan dan saling percaya di antara para pasien-keluarga mulai terbangun.
Kami menemukan semua bentuk pelayanan di masing-masing Rumah Sakit -RS Panti Rapih dan RS Brayat Minulya- berlangsung sangat baik. Hal ini ditandai oleh model pelayanan yang dipelihatkan oleh pihak RS, mulai dari para perawat, fasilitas RS, kebersihan serta petugas lainnya yang melayani para pasien.Â
Kesan para pasien memang beragam, akan tetapi sebagian besar mereka memiliki kesan positif dimana mereka merasa nyaman dan percaya pada proses penanganan yang dikelola oleh pihak RS.
Pelayanan RS bagi kami -- tentunya setelah berdialog dengan para pasien -- menjadi point penting sekaligus pil utama bagi para pasien dalam proses pemulihan dan menggapai harapan akan kesembuhan.Â
Salah satu faktor utama mengapa pasien memilih RS tertentu daripada yang lain, justru karena mekanisme pelayanan yang baik dan optimal. Hal ini tentunya kami alami selama berdinamika dengan para pelayan kesehatan di masing-masing RS (Panti Rapih dan Brayat Minulya).
Dalam berdinamika -- terutama mengunjungi para pasien dan keluarga -- kami menyadari bahwa tantangan untuk menjadi sesama yang menderita dan di ambang batas adalah suatu pekerjaan yang sulit. Ada begitu banyak kesulitan yang kami temukan dan kami alami sendiri ketika hadir mendampingi para pasien.
Kesulitan yang dialami pasien pertama-tama hadir dalam bentuk kesakitan fisik serta beban psikis yang setiap saat menghantuinya. Kami benar-benar larut dalam situasi dan kesibukan yang dialami para pasien dan keluarga. Kadang ada saat dimana, kami pasrah dan hanya bisa berdoa. Inilah yang menjadi kekuatan bagi kami ketika kekuatan manusiawi dan teknologi tidak lagi mampu menjawab kesulitan yang dialami seorang manusia.
Hadir sebagai keluarga yang menemani adalah salah satu sumbangan berharga bagi si pasien yang tengah dirawat. Bagi kami, kehadiran adalah salah satu bentuk kepedulian dan cinta kepada si sakit.Â
Kami memilih hadir, ikut dalam dinamika proses pemulihan pasien dan hadir membantu para perawat yang menangani pasien secara khusus. Di sinilah letak sense of love terhadap sesama dibangun direfleksikan.Â
Ketika berhadapan dengan pasien yang sekarat, kami kadang diam dan merasa diri useless. Kami memaknai kehadiran kami dalam situasi-situasi kristis tak terlihat.
Ketika para perawat dengan alat dan kemampuan manusiawinya melakukan tawar-menawar dengan Tuhan -terutama soal hidup dan mati- kami justru merasa bahwa manusia adalah makhluk yang paling dicintai dan dihormati.Â
Kecintaan dan rasa hormat itu bahkan terlihat hingga si pasien meninggal. Ketika menjadi jenazah, manusia tetap dicintai dan dihormati, dimandikan, dibersihkan, dirias, didoakan, dan disemayamkan dengan baik. Inilah kekhasan makhluk bernama manusia dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya.
Berhadapan dengan berbagai pengalaman ini - ikut dalam dinamika pemulihan pasien dan kesibukan keluarga, membantu para perawat hingga mengurus jenazah - kami benar-benar menyadari keterlibatan kami sebagai sesama.Â
Prosesnya memang tidak mudah, akan tetapi nilai di balik semuanya itu justru membuat kami semakin menghargai kehidupan. Hidup itu mahal sebagaiman yang alami ketika berdinamika selama kegiatan live in berlangsung.Â
Jika hidup bukan sesuatu yang mahal, untuk apa dipertahankan hingga menghabiskan banyak uang, menyita waktu, dan kerja, serta seringkali menyusahkan orang lain? Karena hidup itu berharga, maka keluarga pasien dan pasien itu sendiri memilih bertahan - menunggu sekaligus membuat penawaran dengan Tuhan soal hidup dan mati. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H