Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Haruskah Komisi Aparatur Sipil Negara Dibubarkan?

27 Januari 2021   10:54 Diperbarui: 27 Januari 2021   11:19 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sofiyan Effendi Ketua KASN. Foto: republika.co.id

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) saat ini, tengah masuk dalam proyek daur ulang (revisi) Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Salah satu isi proyek revisi ini adalah adanya isu mengenai pembubaran Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Proyek ini tentunya mengingatkan publik pada praktik "marketing" jabatan di tubuh ASN, tepatnya di halaman belakang birokrasi.

Alasan utama revisi UU ASN ini berangkat dari gagasan terkait profesionalitas ASN. DPR ingin semua orang yang masuk dalam jajaran ASN harus mandiri dan dan bertanggung jawab dalam mengemban tugas. Gagasan ini memang menarik mengingat indeks transparansi dan kualitas profesional seorang ASN harus berdiri sendiri tanpa pengawasan terpadu dari pihak mana pun. 

Kehadiran KASN bagi DPR, "mungkin" dinilai kurang memberi edukasi dalam aspek profesionalitas para pegawai ASN. Untuk itu, DPR menginginkan agar KASN sebagai lembaga pengawas, pengoreksi, serta wadah evaluatif postur birokrasi ASN perlu ditiadakan.

Jika dibubarkan, maka pertanyaannya adalah: "Bagaimana sebetulnya indeks transparansi dan profesionalitas birokrasi ASN selama dipotret KASN? Apakah praktik jual-beli jabatan sudah hilang ketika KASN hadir dalam tubuh birokrasi ASN? Atau jangan-jangan praktik transaksi jual-beli jabatan semakin menguat dan netralitas ASN malah melemah?" 

Selama KASN menjadi wadah penentu kehadiran ASN, praktik jual-beli jabatan tetap lolos. Di berbagai daerah, transaksi jual-beli jabatan tetap ada meski KASN sudah berperan secara optimal. Fenomena ini, tentunya menjadi problem krusial yang perlu dibedah dan dikoreksi. Jika praktik jual-beli jabatan masih ada ketika KASN mengawas, bukankah hal lebih buruk justru terjadi jika KASN dihapus dari portal UU ASN?

Bukan rahasia umum praktik nepotisme di dalam tubuh birokrasi kerap kali terjadi. Menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), praktik calo dan kekerabatan dalam tubuh lembaga ASN masih merajalela di Indonesia. 

Pada akhir 2016, misalkan, KPK menangkap Bupati Klaten Sri Hartini karena kasus jual-beli jabatan di Pemerintah Kabupaten Klaten (Kompas, 26/1/2021). 

Selain praktik jual-beli jabatan, proyek lain terkait dukungan terhadap calon kepala daerah dalam pesta demokrasi, biasanya juga lahir dari ketiadaan pengawasan. Netralitas pendirian ASN di wilayah tertentu, bisa saja dipukat hanya karena alasan garansi jabatan yang diperoleh melalui praktik calo dan kepatuhan pada kepala daerah setempat.

Kehadiran KASN berhadapan dengan konteks demikian, sejatinya menjadi basic needs dalam tubuh ASN. Jika KASN ditiadakan, siapa yang bakal mengawal ruang gerak ASN? Apakah ASN bisa profesional tanpa pengawasan? Bagaimana mungkin target profesional itu bisa dicapai jika dalam pengawasan saja ASN tak mampu mandiri dan bersikap netral? Tanpa KASN, ASN justru seringkali hadir agar bapa senang (ABS).

Di halaman belakang kelembagaan ASN, biasanya praktik jual-beli jabatan ini gamblang terjadi menjelang pemilu. Di saat menjelang pemilu, seorang kepala daerah biasanya menawarkan jabatan tertentu kepada para ASN demi kesuksesannya. 

Mereka yang tak mau masuk dalam proyek besar mendukung calon kepala daerah, akan bertahan dalam jabatannya dan kemungkinan besar akan bergeser posisi. Inilah "kotak hitam proyek birokrasi" dimana di dalamnya berisi banyak rekaman percakapan, transaksi gelap, dan praktik jual-beli jabatan yang kadang tak diketahui publik.

Apa sebetulnya tugas KASN? Pasal 30 UU ASN Tahun 2014 menyebutkan tugas KASN, yakni mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN, serta penerapan sistem merit dalam kebijakan dan manajemen ASN pada instansi Pemerintah. Tugas ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 31 UU ASN Tahun 2014, dimana KASN bertugas menjaga netralitas pegawai ASN, melakukan pengawasan atas pembinaan profesi ASN, dan melaporkan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan manajemen ASN kepada Presiden.

Persolan terbesar berhadapan dengan ASN adalah bagaimana proses perekrutan dan pengaturan posisi jabatan. Seingkali muncul praktik pengisian jabatan tak sesuai kompetensi. Hal ini sudah banyak kali terjadi. Si pegawai A, misalkan ditempatkan pada lokasi tugas yang bukan menjadi ranah keterampilan dan kompetensinya. 

Di tempat yang bukan kompetensinya, ia hanya duduk dan makan gaji buta. Bahkan, karena alasan serupa, ASN tak masuk kerja. "The wrong man on the wrong place," atau "The right man on the wrong place," kadang membuat publik mempertanyakan kinerja dan kualitas para pegawai ASN. Lebih jeleknya lagi jika seorang pegawai ASN tak memiliki kompetensi apa, tapi dipekerjakan karena unsur kekerabatan.  

Dengan kehadiran KASN sebagai lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik, postur ASN, hemat saya, bisa diawasi, dirampingkan, dievaluasi, serta dibenahi secara berkala. Ketiadaan KASN justru menambah dan memperluas jaringan proyek besar kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam tubuh ASN. Pengawasan internal para pegawai ASN harus nyata hadir agar kinerja dan profesionalitas lembaga maupun keanggotaan tetap bersih, netral, dan adil.

Jika ingin meningkatkan profesionalitas ASN, hemat saya, yang dibutuhkan adalah soal bagaimana memperkuat kelembagaan dan keanggotaan KASN sebagai penjamin dan pengawas. Publik tentunya tak meragukan keterampilan dan profesionalitas para pegawai ASN. Akan tetapi, fakta dan data terkait praktik-praktik busuk tidak bisa ditangguhkan tanpa kehadiran lembaga pengawas internal. Dengan kehadiran lembaga pengawas internal, postur ASN dan tuntutan yang disematkan pada kewenangan dan tugasnya bisa dicapai sesuai harapan bersama.

Untuk itu, ada beberapa gagasan yang mungkin bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan terkait revisi UU ASN Tahun 2014 -- terutama mengenai penghapusan KASN sebagai lembaga penjamin kebugaran ASN. Pertama, membuka jaring pengawasan di berbagai provinsi atau kota. Jika merujuk ke Pasal 29 UU ASN Tahun 2014, di sana dikatakan KASN berkedudukan di ibu kota negara. Kedudukan ini, tentu saja menjadi kendala bagaimana KASN bisa berkerja secara maksimal dalam menjamin profesionalitas para pegawai ASN.

Kedua, memberi pelatihan berkala bagi para anggota KASN agar mampu bekerja, menjamin, mengawasi, dan memberi evaluasi berkala terkait para pegawai ASN. Pelatihan (training) dalam hal ini, tentunya tidak hanya berkaitan dengan proyek mendulang informasi lalu melaporkan kepada Presiden dan Menteri sebagai pembina ASN, tetapi juga mendalami keterampilan khusus terkait praktik-praktik non-etis keanggotaan dan lembaga ASN.

Dua hal ini, hemat saya setidaknya bisa menjawab "kegelisahan" DPR terkait aspek profesionalitas seorang pengawai ASN. Melalui peningkatan kualitas KASN, dengan sendirinya indeks kualitas para pegawai ASN juga akan ikut didongkrak. Membubarkan lembaga KASN dari tubuh kelembagaan ASN justru membuat netralitas ASN, pemerataan kebijakan, dan pelayanan yang transparansi dan adil akan jauh dari harapan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun