Sebuah pengalaman akan keberadaan suatu nalar yang cemerlang karena keindahannya, tetapi tidak mungkin ditembus. Einstein menamakan perasaan itu religiositas kosmik. Sebuah religiositas yang melibatkan emosi yang paling mendalam baik di dalam dirinya dan banyak ilmuwan lain yang secara ontis memilih posisi realis.Â
Emosi yang membangkitkan keyakinan bahwa penjelasan rasional atas alam semesta adalah mungkin, sekalipun alasan mengapa dunia bisa dipahami tetap tinggal sebagai misteri (Karlina Supelli, 2012:103).
Hal ini pada akhirnya juga diakui oleh Dr. Arroway. Mesin yang membawanya gagal untuk membawanya ke luar angkasa. Namun, dia mengalami sesuatu yang berbeda.Â
Dia merasa berhasil ke luar angkasa melewati beberapa lubang cacing. Orang-orang menuduhnya mengalami delusi. Tetapi dia tetap yakin mengalami sebuah pengalaman yang luar biasa. Pengalaman yang tidak bisa dibahasakan, hanya bisa dirasakan.
Kesadaran baru dan kejujuran yang teguh terpancar lewat kata-katanya. "Aku mempunyai sebuah pengalaman yang tak bisa kubuktikan bahkan kujelaskan. Semua yang kurasakan sebagai manusia itu nyata. Aku diberikan sesuatu yang indah yang mengubahku selamanya.Â
Sebuah penglihatan tentang alam semesta yang memberitahu kita dan tak dapat disangkal, bagaimana kecil dan lemahnya kita, bagaimana langka dan berharganya kita semua.Â
Sebuah penglihatan yang memberitahu kita bahwa kita memiliki sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri bahwa tak satu pun dari kita mengetahui itu.Â
Seandainya aku bisa berbagi, aku berharap semua orang tahu walau hanya sesaat bisa merasakan kekaguman, kerendahan hati, dan harapan. Itu akan terus menjadi keinginanku."
Alam semesta ini begitu luas dan masih menyimpan begitu banyak misteri. Manusia yang terlalu membanggakan kemampuannya (rasionya) untuk menaklukan alam semesta adalah sebuah sikap yang patut dikoreksi.Â
Kesombongan manusia mendorongnya melihat alam semesta secara instrumental, alam hanya dieksploitasi untuk kepentingannya. Pemenang Nobel Fisika 1979, Steven Weinberg, pernah menulis dalam bukunya yang berjudul The First Three Minutes (1977) bahwa sains menggiring orang memasuki kemahaluasan yang akan membuatnya menggigil.Â
Bagi Weinberg, semakin alam semesta terpahami, semakin tampak alam semesta tak terpahami, semakin tampak alam semesta tidak punya tujuan; alam menjadi bermakna karena manusia adalah pemain drama yang bisa menghangatkan dan memaknai panggung kosmik yang tidak punya belas kasihan.