Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, fenomena suka-duka selalu dijumpai. Simptom-simptom untuk merusak keterhubungan kedua mempelai yang diikat dengan perjanjian, gamblang terlihat di zaman sekarang. Wajah keretakan relasi dalam rumah tangga bisa berupa KDRT, perceraian, perselingkuhan, dll. Pada kesempatan ini, saya akan lebih mendalami problem perselingkuhan dalam Gereja Katolik. Â
Alasan Umum
Perselingkuhan terjadi ketika seseorang yang telah menikah melakukan hubungan seks dengan seseorang yang bukan pasangannya. Beberapa faktor penyebab perselingkuhan ini, antara lain: Pertama, ketidakpuasan dalam relasi seksual. Perihal hubungan seksual antara suami dan istri adalah hal yang normal dan menjadi hak keduanya untuk dilaksanakan -- walaupun perlu ditegaskan bahwa hal ini bukan segala-galanya. Meskipun relasi persetubuhan bukan menjadi satu-satunya alasan perselingkuhan, faktor ini pun perlu diperhatikan karena dapat menjadi alasan adanya keretakkan dalam membina kehidupan berumah tangga.
Perbedaan pandangan mengenai seks dan tingkah laku seksual bisa pasangan, biasanya menimbulkan ketegangan relasi yang sudah harmonis. Pandangan yang berbeda ini dapat timbul dari sikap ego salah satu partner atau bahkan karena memang sama sekali tidak tahu perihal jenis kelamin partnernya.
Kedua, perkawinan yang dijalankan karena paksaan orangtua. Dalam banyak kebudayaan, ikatan pernikahan antara pria dan wanita bukan saja merupakan keputusan bebas dari kedua pasangan yang menikah, tetapi lebih merupakan pemenuhan dari tuntutan serta keinginan keluarga atau orangtua dari kedua belah pihak. Kenyataan ini pada gilirannya mengabaikan hakikat cinta perkawinan sebagai suatu keputusan bebas dari pasangan suami-isteri. Maka, tidak jarang dalam perjalanan waktu, keluarga dihadapkan dengan kenyataan merosotnya nilai perkawinan.
Perkawinan sebagai wadah pengekspresian cinta antara pria dan wanita tidak lagi dilihat sebagai instansi suci, melainkan kenyataan yang membebankan kehidupan. Kenyataan perkawinan sebagai beban ini mengantar pasangan untuk ke-luar dari kesatuan perkawinan (perselingkuhan).
Ketiga, memudarnya sikap saling percaya (untrusted) di antara pasangan. Dalam hubungan suami-isteri, ada saat-saat dimana mereka saling mencurigai dan saling cemburu. Kecurigaan dan kecemburuan ini muncul ketika pasangan tidak saling percaya satu sama lain. Mempercayai berarti mengambil resiko untuk dikhianati, dilukai, dan ditolak. Maka, ketika setiap pasangan melarikan diri dari keyataan ini, pada saat yang bersamaan mereka menyangkal kepercayaan yang dibangun dalam sakramen perkawinan.
Keempat, tidak ada keterbukaan (inpure motivation). Menutup diri adalah salah satu bentuk pertahanan diri naluriah, karena merasa tidak aman atau terancam yang disebabkan oleh ketakutan untuk ditolak dan dilukai. Dalam kehidupan perkawinan sering terjadi kasus dimana orang tidak menyelami sifat pasangannya, lantaran tidak berani untuk terbuka dengan keadaan yang ada. Ketidakterbukaan semacam ini justru menjadi dalang dari sikap membentengi diri dari harapan untuk tumbuhnya relasi yang baik.
Kelima, basis ekonomi rumah tangga yang tidak jelas (uncertainly economic income). Faktor ekonomi dalam rumah tangga juga berperan dalam menjamin kesejahteraan dan keutuhan keluarga. Ekonomi rumah tangga (income) yang tetap dan mapan menjadi salah satu penjamin kesejahteraan dan keutuhan keluarga. Sebaliknya, ekonomi rumah tangga yang morat-marit dapat menjadi salah satu penyebab dan peluang perselingkuhan. Walaupun demikian, kehidupan ekonomi yang mapan juga dapat menjadi faktor penyebab perselingkuhan.
Simptom Persoalan Perselingkuhan
Keharmonisan adalah tujuan dari setiap pasangan dalam menjalin suatu hubungan intim dalam pernikahan. Ikatan pernikahan, pada hakekatnya harus didasari rasa cinta yang tulus antara laki-laki dan perempuan sehingga menyatukan keduanya dalam janji suci untuk memenuhi kebutuhan lahir dan batin. Banyak hal dilakukan agar kehidupan rumah tangga bisa tenteram, harmonis, dan langeng. Akan tetapi, akhir-akhir ini permasalahan yang semakin merebak dalam pernikahan dan keluarga adalah perselingkuhan. Perselingkuhan merupakan tindakan pengkhianatan terhadap janji kesetiaan antarpasangan dalam perkawinan dan tidak sedikit yang kemudian berujung pada perceraian.
Alasan yang seringkali muncul biasanya beraneka ragam, diantaranya karena kondisi perkawinan tidak lagi menyenangkan, tidak adanya kecocokkan, konflik yang terus menerus, dan mengantrinya harapan yang tidak terpenuhi antar-pasangan. Selain faktor-faktor internal yang terlihat ini, masih banyak pula faktor lain di luar perkawinan yang memicu perselingkuhan, yakni adanya peluang dan kesempatan, memiliki networking yang luas dengan teman, dan problem menggerusnya area finansial.
Problem selingkuh juga ditengarai oleh beberapa fenomena berikut. Pertama, permasalahan seks. Salah satu kepuasan pernikahan menurut Klagsburg (Aqmalia & Fakhrurrozi, 2009) adalah menikmati kebersamaan dengan pasangan. Kepuasan ini berkaitan dengan perasaan bahagia yang dirasakan oleh kedua pasangan dari pernikahan yang dijalani. Pasangan yang tidak merasakan kepuasan/keintiman ini, akan berupaya untuk mencari kepuasan seksual di luar penikahannya. Perasaan kesepian, baik secara fisik maupun emosional, acapkali terjadi pada pasangan yang bekerja di tempat atau kota yang berbeda, pasangan yang mementingkan karier, dan bepergian dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, pasangan menemukan keengganan atau kebosanan dalam mengekspresikan keintiman hubungan yang terasa monoton dan tanpa gairah.
Kedua, konflik yang terus menerus. Terjadinya cekcok dalam rumah tangga juga bisa menjadi salah satu alasan perselingkuhan. Apalagi jika pola komunikasi suami istri tidak baik. Konflik kecil pun bisa menjadi hal yang besar. Penyebabnya pun bermacam-macam, mulai dari penghasilan yang tidak mencukupi, kekurangan dalam menerima pasangan apa adanya, menaruh harapan yang tinggi, masakan yang tidak enak hingga idealisme mendidik anak. Saat suami maupun istri penat dengan pasangannya, akan menjadi bahaya jika di luar sana ada sahabat dari lawan jenis yang masuk mengisi kondisi tersebut.
Ketiga, adanya peluang dan kesempatan. Terbukanya kesempatan untuk melakukan perselingkuhan, umumnya ditengarai oleh kemudahan bertemu dengan lawan jenis di tempat kerja dan berbagai sarana komunikasi yang mendukung permainan relasi. Hubungan intim dengan orang ketiga dapat bermula dari pertemanan biasa, kemudian berlanjut semakin dalam ketika masing-masing membuka diri dan saling menceritakan permasalahan dalam rumah tangga (bdk. Glass & Staeheli, 2003). Selain itu, dengan adanya media sosial yang bisa mengakses siapa saja, di mana saja, dan kapan saja dengan kebutuhan akan apa saja, memberikan celah untuk menjalin hubungan gelap tanpa ada yang mengintervensi.Â
Keempat, abnormalitas atau animalitas seks. Banyak suami yang secara diam-diam (aktif) menonton video-video porno yang vulgar dan penuh variasi cenderung menjadikan mereka tidak manuasiawi (animalistis). Pasangan kadang menuntut hubungan seks mereka bisa seperti apa yang ditonton. Akan tetapi, yang terjadi bahwa banyak istri yang menolak karena merasa perlakuan suami yang semakin tidak etis.
Evaluasi KeluargaÂ
Perkawinan Kristiani bersifat sakramental indissolubilitas/tak terceraikan. Berhadapan dengan berbagai masalah yang dihadapi dalam perkawinan, pasangan suami-istri hendaknya  menyelesaikannya dengan memperhatikan hal mendasar dari perkawinan itu sendiri. Berhadapan dengan masalah selingkuh dalam hidup perkawinan, pasangan suami- istri perlu diingatkan untuk kembali pada komitmen awal hidup perkawinan, khususnya pada janji untuk selalu setia sampai mati.
Selain itu, perlu ditegaskan pula bahwa perkawinan Kristiani dikukuhkan khusus atas dasar sakramen (Kan. 1056). Perkawinan sebagai sakramen yang ditandai dengan adanya kesepakatan nikah dan telah disempurnakan dengan persetubuhan (consumatio) antara suami-istri ini berciri tak-terceraikan secara mutlak (Robertus Rubiyatmoko, 2011). Perkawinan ini tidak dapat diputuskan oleh kuasa manusia mana pun kecuali oleh kematian (Kan. 1141). Â Maka, hidup perkawinan itu hendaknya dipelihara sehingga menjadi lambang dan sarana kehadiran Allah yang senantiasa menyelamatkan.
Oleh karena itu, pilihan tindakan sebagai suami dan istri selalu diarahakan sebagai tindakan Allah yang menyelamatkan. Hubungan suami dan istri dalam tradisi Gereja, bahkan dalam Kitab Suci diangkat sebagai hubungan Allah dan umat-Nya. Allah tetap setia kepada umat-Nya, meskipun manusia kadang menyimpang dari kehendak Allah. Hal yang sama juga hendaknya dibangun dalam hidup perkawinan. Sebagaimana hubungan Allah dan umat-Nya yang selalu terbuka terhadap mereka yang menyimpang dari jalan-Nya, suami-istri pun diharapakan tetap saling menerima satu dengan yang lain.
Hal lain yang perlu diingat pula bahwa dalam Kitab Suci sangat ditekankan mengenai ekslusivitas dari perkawinan itu sendiri. Dalam hidup perkawinan, keduanya bukan lagi dua melainkan satu (Mat 19:6), maka segala milik suami adalah milik istri dan sebaliknya termasuk dalam hal ini adalah tubuhnya sendiri (bdk. 1Kor 7:4). Oleh karena itu, dalam kasus perseselingkuhan yang digarap kelompok dalam tulisan ini, masing-masing pasangan diharapakan untuk berusaha menjaga apa yang sudah menjadi miliknya agar tidak jatuh pada orang lain. Pada akhirnya, pengampunan untuk saling menerima kembali perlu dilakukan agar hidup perkawinan dapat terus berlanjut -- sebagaimana nabi Hosea yang mau menerima istrinya yang telah bersundal (Hos 1-3). Dalam hal ini, yang ingin ditegaskan bahwa perkawinan hendaknya berciri setia sepenuhnya. Dalam keadaan apapun, suami-istri harus setia, seperti Allah yang selalu setia kepada umat-Nya.
Maka, hemat saya keterbukaan untuk terus mengevaluasi kehidupan berkeluarga adalah solusi praktis mengatasi problem perselingkuhan. Solusi ini tentunya mampu mengontrol 'libido' ketidaksetiaan dalam menghidupi janji dan mengetatkan relasi. Keluarga akan terasa diawasi, justru ketika dalam durasi kehidupan mereka ada space untuk mengevaluasi perjalanan hidup. Inventarisasi baik-buruk kehidupan bersama adalah salah satu karakter menuju kemajuan. Sebagaimana dalam hidup membiara dengan kebiasaan koreksi fraternal (correctio fraterna), hendaknya di dalam keluarga kebiasaan ini dihidupi. Masing-masing orang, baik suami, istri maupun anak memiliki kesempatan untuk memberikan komentar dan input. Dengan menghidupi sistem evaluasi seperti ini, sejatinya simptom-simptom menuju keretakan hidup bersama dapat dibendungi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H