Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Memahami Panggilan Hidup dari Kisah Kitab Suci

17 Januari 2021   04:36 Diperbarui: 17 Januari 2021   05:48 1116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masing-masing kita, pasti memiliki kisah panggilan. Kisah-kisah panggilan itu, biasanya unik dan khas untuk setiap orangnya. Kekhasan itu hadir dalam setiap cara dan reaksi kita dalam menanggapi panggilan.

Ada yang sekali dipanggil langsung manut, tapi adapula yang membutuh waktu bertahun-tahun untuk memahami maksud ia dipanggil. Inilah dinamika hidup panggilan.

Panggilan tentunya beragam. Ada yang dipanggil untuk hidup berkeluarga, ada yang dipanggil untuk hidup sendiri sepanjang hidup, dan adapula yang dipanggil untuk hidup selibat. Dari aneka macam panggilan ini, masing-masing orang tentunya memiliki cara bagaimana menanggapinya. Cara ini, kemudian diterjemahkan sebagai sebuah formasi panggilan -- bagaimana berdinamika lalu memutuskan. Pada tahap ini, masing-masing kita pasti memiliki pengalaman personal.

Bacaan-bacaan suci hari ini, Minggu (17/1/2021) membantu kita -- khususnya Umat Katolik -- untuk memaknai perjalanan panggilan masing-masing. Dari kisah Samuel yang dipanggil Tuhan (1Samuel 3:3b-10:19) sampai pada panggilan Andreas yang kemudian mengikuti Yesus (Yohanes 1:35-42), sebetulnya menunjukkan bahwa dinamika panggilan memang sungguh unik dan beragam.

Dalam refleksi saya, tiga bacaan yang disuguhkan Gereja bagi Umat Katolik pada Hari Minggu Biasa II ini, menunjukkan tiga poin, yang baik untuk direnungkan secara kolektif.

Pertama, dinamika formasi panggilan. Dalam kisah Samuel yang dipanggil Tuhan, Samuel tidak serta-merta mendeteksi sumber suara memanggil. Samuel bahkan dipanggil selama tiga kali dengan kata-kata yang sama. Lalu, apa reaksi Samuel?

Reaksi Samuel tak sekali jadi. Samuel justru mencermati dan memastikan sumber suara agar ia benar-benar memahami siapa yang sedang memanggilnya saat itu. Ia menghampiri Eli. "Bukankah Bapa memanggil aku?"

Upaya pemastian ini tak lain adalah salah satu dinamika sebuah panggilan. Seorang yang dipanggil -- untuk konteks para religius -- tentunya memerlukan waktu yang cukup lama dan intens untuk memahami dan mengerti panggilan Tuhan.

Semua upaya pemastian ini dikelola dalam sebuah sistem formasi. Sistem kelola sumber suara, kemudian pelan-pelan dimurnikan dari waktu ke waktu. Semuanya mengikuti proses, bertahap, lalu sampai pada pengambilan keputusan untuk menjawab ya pada panggilan tersebut.

Sinkron dengan kisah panggilan Samuel, panggilan Andreas menjadi murid Yesus juga sama. Andreas dan dua murid Yohanes Pembaptis, misalnya, tak langsung menanggapi panggilan Yesus tanpa beragam upaya pemastian.

Dalam kerangka panggilan Andreas dan kedua murid Yohanes Pembaptis, yang terjadi justru sebuah upaya diserment mendalam. "Rabi (artinya Guru), di manakah Engkau tinggal?" Pertanyaan ini lahir dari sebuah tahap formasi -- dimulai dengan keragu-raguan. Kata Yesus memastikan, "Marilah, dan kalian akan melihatnya!"

Proses pencermataan sistem formasi ini tak hanya sampai pada tahap "come and see" (mari dan lihatlah). Proses selanjutnya adalah tinggal bersama. Kata "tinggal" adalah salah satu unsur penting dalam dinamika proses diserment panggilan.

Jika saya hendak memahami lebih dalam soal sumber suara dan memaknai kepastian panggilan saya, maka saya perlu tinggal-menetap. Ketika saya tinggal bersama, saya akan mengalami, lalu diantar pelan-pelan untuk memahami apa itu panggilan dan ke mana saya diarahkan.

Setelah tinggal, lalu bagaimana? Surat Pertama Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus tentunya memberi kita arah misi, setelah kita mengalami masa formasi.

Dari upaya pemastian panggilan seperti kisah Samuel menuju kemauan untuk tinggal dan seperti halnya kisah Andreas dan kedua murid Yohanes Pembaptis, seorang yang dipanggil kemudian diantar pada sebuah orientasi karya-misi.

Dengan tinggal bersama dengan Kristus yang memanggil, kita pun dimeterai menjadi anggota. "Siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan, menjadi satu roh dengan Dia" (1Korintus 6:17).

Dengan demikian, ketika kita sudah mengalami proses formasi dengan tinggal bersama, kita pun dituntut untuk memberikan kesakian tentang Dia yang memanggil. Apa yang kita terima dari kurun waktu tinggal bersama perlu dibagikan kepada orang lain sebagai kabar sukacita.

Maka, penting dalam hal ini bahwa atmosfer tinggal bersama sebelum terjun ke medan misi perlu dihidupi secara baik, yakni damai, sukacita, dan penuh persaudaraan. Poin-poin ini akan membentuk sukacita baru bagi orang-orang yang dijumpai ketika bermisi.

Kedua, adanya kebutuhan untuk mencari dan melihat. Kebutuhan mencari, lahir pertama-tama karena adanya kebutuhan untuk melihat. Ketika saya ingin melihat, katakanlah seperti apa lokasi jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, saya didorong untuk mencari. Sama halnya dengan kisah bacaan-bacaan hari ini.

Samuel pergi kepada Eli karena kebutuhan melihat. Samuel, dengan kata lain ingin melihat secara langsung siapa yang sedang memanggilnya. Hal ini diperkuat dalam kisah Andreas dan kedua murid Yohanes Pembaptis. Mereka berusaha mencari Yesus karena kebutuhan melihat -- ingin melihat, tinggal, dan mengalami dinamika bersama Yesus.

Dalam kisah-kisah panggilan lainnya, hemat saya, hal yang sama juga kerapkali terjadi. Ketika kita dipanggil untuk hidup berkeluarga, kita tentunya punya kebutuhan untuk melihat bagaimana pasangan kita, rumah tangga kita, dan anak-anak kita akan bertumbuh secara langsung. 

Kita ingin tinggal bersama dan mau mengalami. Untuk itu, kita didorong untuk mencari alternatif jalan agar kebutuhan untuk melihat ini, dapat terpenuhi. Jalannya bisa saja dengan bersepakat untuk hidup bersama dengan menikah.

Konteks lainnya, dalam hidup kaum religius, kisah panggilan juga lahir karena adanya kebutuhan melihat. Pertama-tama, mungkin saya ingin melihat seperti apa para biarawan-biarawati berdinamika dalam hidup bersama. Atau, saya pertama-tama masuk biara untuk melihat bagaimana Tuhan memanggil saya dengan cara hidup selibat.

Untuk itu, saya berusaha menemukan cara agar saya mampu memenuhi kebutuhan melihat. Caranya, saya memilih masuk dalam dinamika hidup para religius, dengan tinggal bersama, lalu memutuskan untuk bekerja sama dalam memenuhi target misi.

Lalu, pertanyaannya: "Apakah jenis panggilan lain tak punya rentetan proses demikian dalam hidup harian?" Saya pikir, hal yang sama juga jamak terjadi di lingkungan masyarakat sekarang. Kebutuhan untuk melihat -- apa saja sesuai keinginan dan rasa kepo masing-masing -- membuat seseorang menemukan cara-cara tertentu.

Misalnya, karena tingginya kebutuhan melihat, manusia bahkan kemudian berusaha menciptakan satu mesin pencari raksasa bernama Google. Mesin ini dipakai oleh setiap orang khusus untuk memenuhi kebutuhannya dalam hal melihat. Dengan mesin pencari raksasa bernama Google, seseorang dapat mengetik apa saja dan dengan mudah mendapatkan apa saja yang ingin dilihat.

Ketiga, konsistensi peran. Dalam kisah panggilan Samuel, hadir sosok pendamping bernama Eli. Ketika Samuel mendengar panggilan Tuhan, Eli tak membiarkan Samuel berdinamika sendiri. Eli justru hadir menemani Samuel untuk memaknai dan mencermati kisah panggilan Samuel. 

Upaya pendampingan Eli tak berhenti pada kepuasan pribadi. Dalam hal ini, jika Eli merasa terganggu dengan kehadiran Samuel karena terus-terus datang memastikan sumber suara, bisa saja Eli akan menipu Samuel. Ia bisa saja menjawab: "Nak Samuel, iya betul, bapa yang memanggil kamu."

Jika hal itu terjadi - demi kenyamanan pribadi -- tugas Eli, dalam hal ini, tentunya tidak mencirikan konsistensi peran dalam proses pendampingan. Eli justru bertindak seolah-olah seperti Tuhan dan membuat Samuel kehilangan panggilan yang sesungguhnya.

Hal yang sama juga bisa direnungkan dari kisah Yohanes Pembaptis. Yohanes Pembaptis, jika dicermati dengan baik, sudah banyak memberikan kontribusi dalam alur kehadiran Yesus. Sebelum Yesus lahir, Yohanes Pembaptis sudah menunjukkan perannya yang konsisten sebagai pembuka jalan. Yohanes dalam hal ini, tahu peran dan konsisten dengan perannya.

Bahkan, ketika banyak orang menanyakan prihal perannya di hadapan publik, Yohanes dengan tegas menjawab: "Saya bukan Mesias yang kalian nanti-nantikan." Selain sebagai pembuka jalan, Yohanes Pembaptis membuktikan konsistensi perannya hingga Yesus dibaptis dan memulai karya-Nya di muka umum. Ia bahkan mengantar kedua murid terbaiknya kepada Yesus untuk berdinamika bersama. Inilah tuntutan konsistensi peran dalam menekuni sebuah panggilan.

Dalam hidup berkeluarga, konsistensi peran ini sangat penting untuk dihidupi. Sebagai contoh, peran kedua orangtua dalam pendampingan anak. Kehadiran orangtua, umumnya tak hanya berhenti pada tahap melahirkan lalu setelahnya membiarkan anak bertumbuh tanpa adanya pendampingan.

Seorang ayah atau ibu, meskipun anaknya berlaku buruk atau bertindak di luar batas-batas kewajarannya, akan tetap konsisten hadir untuk melakukan pendampingan. Orangtua, dengan kata lain, konsisten menghidupi peran sebagai pendidik kapanpun, di manapun, dan dalam situasi apapun. Aspek ini penting, agar dalam dinamika formasi, anak benar-benar tumbuh sebagai pribadi yang baik di kemudian hari.

Sedangkan dalam konteks hidup kaum religius, konsistensi peran pendamping, pembina atau formator juga perlu dihidupi. Seorang formator -- sebutan untuk para pembina seorang seminaris atau calon imam -- hadir sebagai sosok yang mengayomi, mendidik, dan memberi jalan. Mereka akan menghidupi peran mereka dengan konsisten mendampingi para seminaris dan calon imam terutama dalam memurnikan motivasi serta mengarahkan para seminaris dan calon imam ke arah yang baik.

Dengan kata lain, baik formator maupun orangtua atau siapa saja yang bertugas mendampingi, hadir seperti seorang wanita yang membantu proses persalinan. Dalam hal ini, mereka teguh memberi pendampingan, semangat, dan support sampai si ibu yang melahirkan bisa melihat bayinya sendiri.

Tugas ini memang tak mudah. Akan tetapi, jika setiap kita mau memberi diri, berkorban, dan konsisten menghidupinya, hemat saya, aliran semangat seperti halnya Eli dalam kisah pendampingan panggilan Samuel dan Yohanes Pembaptis dalam kisah Andreas dan kedua temannya, bisa kita hayati dengan mudah.

Selamat berhari Minggu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun