Dalam hal ini, kompetisi akan menjadi semakin sengit. Dan, hal penting lainnya, kerumunan dan situasi "gaduh pesta demokrasi" menjadi peluang bagi setiap kandidat atau parpol pengusung untuk melakukan manuver-manuver tak sehat.Â
Banyak tim pengawas pemilu mungkin akan lebih memberi perhatian pada pilpres ketimbang pileg atau sebaliknya. Maka, celah-celah demikian menjadi peluang besar bagi berkembangnya praktik politik kotor.
Kelima, polemik pasca pemilu. Biasanya, setiap kali ajang pesta demokrasi usai dilakukan, polemik-polemik besar akan muncul ke institusi peradilan.Â
Dalam hal ini, pasca pemilu serentak, pihak pengadilan -- Mahkamah Konstitusi (MK) akan menerima banyak permohonan terkait polemik pemilu.Â
Permohonannya bisa berupa sengketa pilpres maupun sengketa pilkada. Dua jenis pemilu ini kerapkali muncul di berbagai polemik ajang pesta demokrasi.Â
Apa yang ditakuti dalam hal ini tentunya soal beban kerja MK dan juga peluang praktik-praktik suap. Hal-hal ini, pasti terjadi dalam berbagai pengalaman sengketa pilkada yang diusung ke MK.Â
Semakin banyak permohonan, maka sulit beban kerja. Maka, kemudahan-kemudahan bisa saja datang dengan alternatif-alternatif lain. Peristiwa sengketa pilpres 2019 bisa dijadikan pengalaman soal poin ini.
Dengan demikian, kelima pertimbangan di atas bisa dilihat sebagai bahan kajian serius terkait revisi UU Pemilu dan Pilkada menuju proyek pemilu serentak 2024 nanti.
Kita berharap pemerintah dan DPR bisa mencermati berbagai dampak dari kegiatan pemilu serentak ini, daripada sekadar memikirkan ongkos penyelenggaraan pesta demokrasi. Pilpres, pilkada, dan pileg, jika dikritisi lebih dalam, tidak lain adalah pesta kompetisi partai politik (parpol).Â
Di setiap kegiatan pemilu, orang-orang yang paling sibuk dan gemar melakukan lobby serta bagi-bagi sembako-uang adalah anggota parpol atau parpol tertentu.Â
Semua ruang gerak super sibuk menuju pemilu, tak lain dikuasai orang-orang parpol. Maka, pemilu sejatinya, bisa dibilang sebagai pesta kompetisi parpol.