Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Dialog Levinas dan Derrida soal Keadilan

7 Desember 2020   11:10 Diperbarui: 7 Desember 2020   11:23 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emmanuel Levinas. Sumber: autonomies.org.

Sejak Rene Descartes, filsafat telah memperhitungkan manusia sebagai makhluk yang sanggup berpikir (res cogitans). Perhitungan ini telah menunjukkan keyakinan bahwa manusia -- karena kemampuan akal budinya -- memiliki kedudukan lebih tinggi dari realitas yang lain. Prinsip filsafat ego cogito seperti ini -- dimana subjek rasional sebagai penentu kebenaran -- bagi  pemikir Prancis , seperti Emmanuel Levinas (1905) merupakan benih filsafat totalitas.

Filsafat totalitas adalah filsafat yang mengagungkan kebenaran berpikir yang berpusat pada subjek rasional yang otonom. Ambisi subjek rasional yang otonom membuat pusat refleksi kembali pada aku. Ketika aku sebagai subjek yang berpikir mampu mengkonstitusikan sebuah kebenaran, maka kemungkinan untuk mengakui kebenaran yang lain menjadi terbatas. Filsafat yang tidak memberi ruang pada kebenaran lain dan bahkan mereduksi kebenaran lain hanya dalam kebenaran tertentu, tidak lain adalah filsafat egologi atau filsafat yang totaliter.

Totalitas dalam pengertian Levinas adalah suatu cara berada yang berpusat pada diri, yang sama (etr le Mme). Cara berada seperti ini adalah ciri dari identitas diri. Dengan demikian, mengidentikkan berarti membuat sesuatu menjadi sama. Dalam filsafat totalitas, diri adalah pusat segala-galanya -- pusat makna untuk memaknai yang lain. Dalam hal ini, gerak langkah totalitas adalah gerak langkah mereduksi, yakni mereduksi yang lain (l'autre) kepada yang sama (le Mme).

Dalam reduksi, ada sebuah gerak balik kepada yang sama, kepada diri sendiri, yakni kepada sang aku sebagai subjek otonom atau pusat kebenaran (Jill Robbins, Visage: 1991). Peran aku sebagai subjek kebenaran justru berusaha mendominasi yang lain. Yang lain bahkan ditarik ke pusat aku untuk dikuasi. Misalnya seorang polisi yang menginterogasi seorang pelaku kejahatan. Dalam hal ini, tindakan polisi mengorek informasi dari si pelaku kejahatan, pada dasarnya hanya untuk menguasai si pelaku.

Levinas justru melihat yang lain sebagai yang bukan aku (Emmanuel Levinas, Time and Other, 2000). Orang Prancis secara khusus membedakan yang lain dalam dua pengertian, yakni yang lain sebagai persona -- dia yang lain  (l'Autrui) dan yang lain sebagai entitas yang umum atau l'autre (Emmanuel Levinas, Totality and Invinity: 1969). Makna tentang yang lain dapat dibedah melalui via negativa, yakni dengan menegasi.

Yang lain, dengan demikian, adalah bukan aku. Untuk memahami yang lain, aku tidak dapat memulai dari diriku, karena memulai dari diriku berarti memulai dari pemahaman, persepsi, cara berpikir, dan tindakanku. Itu berarti, saya berusaha memulai dari totalitas kebenaran yang saya miliki. Sejarah justru telah melupakan aspek keberlainan dalam setiap diri manusia.

Levinas menunjukkan beberapa hal berkaitan dengan yang lain. Pertama, yang lain sebagai yang heteronom. Aspek heteronom dari yang lain menunjuk pada makna dari yang lain secara radikal. Radikalitasnya, ada pada keberlainannya (alteritas). Menurut Levinas, filsafat yang memusatkan perhatian pada realitas yang lain sebagai fakta absolut adalah filsafat heteronomi (Felix Baghi, Alteritas: 2012). Filsafat heteronomi tidak berbicara tentang yang lain sebagai objek eksternal di luar kesadaran manusia. Yang lain yang mendominasi saya dalam aspek transendensinya, tidak lain adalah orang asing, janda, para yatim piatu, yang kepadanya saya patuh.

Kedua, yang lain sebagai yang eksterior. Subjudul karya Levinas Totalit et Infini adalah esai tentang ekterioritas. Term ekterior merujuk pada suatu realitas yang transenden, yaitu realitas yang melampaui kesadaranku. Dalam Levinas tidak ada penyangkalan ekterioritas (ngetaion d'exteriorit), akan tetapi sebaliknya, yakni pengakuan eksterioritas (afirmation d'exteriorit). Afirmasi fakta ekterioritas dari yang lain tidak terjadi dalam tingkatan yang simetris, tetapi level asimetris (Emmanuel Levinas, Alterity and Transendence: 1999).

Hal ini menunjukkan bahwa alteritas yang lain adalah fakta absolut yang tidak dapat dipersandingkan begitu saja dengan segala apapun -- yang lain sebagai yang tak berhingga. Levinas memulai penjelasan tentang ketakberhinggan dari struktur dasar relasi antara ide dan ideatum. Lokus dari ide ada dalam pikiran, sedangkan ideatum adalah realitas yang tak berhingga dan berada di luar atau melampaui ide dalam pikiran. Pikiran dan pengetahuan manusia terbatas untuk menggapai yang tidak berhingga. Maka, yang lain sebagai yang melampaui sesuatu, bukanlah suatu konsep.

Buku Force of Law dari pemikir Prancis Jacques Derrida sangat dipengaruhi oleh pemikiran Emmanuel Levinas -- Totality and Infinity (1969). Derrida mengatakan bahwa "konsep tentang keadilan -- yang dipisahkan dari hukum -- dekat dengan Levinas" (Jacques Derrida, Force of Law: 2002). Dalam Totality and Infinity, Levinas menulis, "relasi dengan yang lain, tidak lain adalah keadilan."

Levinas berbicara mengenai sebuah ciri ketakberhingaan ini berkaitan dengan humanisme Yahudi (Jewish humanism), dimana dasarnya bukan pada konsep manusia, tetapi lebih pada yang lain -- keberlainan dari yang lain secara praktis tidak berhingga. Menurut Derrida, "Tidak ada etika tanpa kehadiran yang lain." Artinya, segala yang ditempatkan pada hitungan kelas kedua dan yang dilupakan menjadi diakui.

Derrida mengatakan demikian: "Saya akan melakukannya hanya karena ketakterbatasan ini dan karena hubungan heteronomis dengan yang lain (autrui), hubungan heteronomis dengan wajah yang lain yang memerintah saya, yang ketakterbatasannya, tidak dapat saya pahami dan akhirnya menyandera saya" (Jacques Derrida, Force of Law: 2002).

Kehadiran yang lain, menurut Derrida, tidak bisa direduksi ke dalam hukum. Maka, kehadiran aku di sini diperingatkan oleh yang lain, bahwa aku bukan lagi ukuran untuk mengukur orang lain. I am no longer the law. Menurut Derrida, istilah kesetaraan tidak berarti sama, tidak berkaitan dengan jumlah yang dapat diperhitungkan, tidak berhubungan dengan distribusi yang sewajarnya, juga tidak berhubungan dengan keadilan distributif, tetapi lebih berhubungan dengan relasi asimetris (absolute dissymmetry).

Dari Levinas, Derrida justru memperlihatkan tentang keadilan sebagai sesuatu yang tidak bisa direduksi. Keadilan dengan kata lain adalah sesuatu yang tidak bisa dikalkulasi atau ditakar dari jangkauan berpikir manusia. Keadilan adalah sesuatu yang melampaui. Keadilan bukanlah hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun