Hadir saja sudah cukup. Saya menyadari adaku di tengah-tengah pasien selama kegiatan live in di RS Panti Rapih sama sekali useless.
Ini dugaanku di awal kegiatan live in. Dalam benak dan hati kecilku, selalu ada pertanyaan seputar kemampuan dan efek kehadiranku bagi para pasien yang dikunjungi. Seberapa penting aspek kehadiran memengaruhi keadaan di sekitarku? Apakah kehadiran, punya daya mengubah?
Live in 10 hari di RS Panti Rapih membentuk saya menjadi pribadi yang lebih terbuka. Terbuka pada apa? Ya setidaknya terbuka terhadap situasi, lingkungan, serta sesama yang kujumpai.
Di dalam biara dan sekat pengetahuan teologi, aku hanya berdinamika dengan hal-hal yang nihil. Banyak teori, konsep, polarisasi definisi, tips-tips dan berbagai khazanah pengetahuan dikupas dan dicari kebenarannya. Ya kebenaran sejauh saya membaca buku dan mendengar orang bercerita.Â
Pertanyaannya "Pernakah saya mengalami secara langsung tema-tema yang saya bahas di ruang kuliah? Apakah memang ikhwal penanganan orang sakit semudah dan segampang tips-tips yang dikemukan buku-buku?"
Sejatinya tidak. Aku hanya sampai pada ruang berefleksi dan berangan-angan. Aku kadang memiliki banyak pengandaian daripada memutuskan dan memastikan. Inilah yang aku sendiri pelajari dari pengalaman berdinamika bersama tim Passosmed di RS Panti Rapih.
Ketika diberi tanggung jawab 'tuk hadir menemani pasien, kebingungan mulai muncul. Keterampilan apa yang saya miliki? Apa yang bisa saya buat untuk mereka yang tengah merana kesakitan, bergulat dengan masa depan hidup, mereka yang sibuk mengantarkan obat-obatan-makanan, mereka yang siang-malam duduk menanti mujizat kesembuhan bagi si sakit atau apa yang bisa saya lakukan ketika melihat sesama saudaraku menangis terisak-isak karena melihat orang yang mereka cintai pergi untuk selama-lamanya?Â
Di sinilah letak "ada-ku" dipertanyakan? Saya bahkan bertanya apakah cukup dengan mendoakan? Bukanya setiap orang bisa berdoa? Apa yang khas dari saya yang benar-benar punya nilai lebih untuk orang lain?
Ketika tiba di beberapa tempat pusat pelayanan, saya justru merasa malu ketika para perawat justru "ngeledikin" saya dengan ucapan "Aku juga gak tau apa yang bisa mas buat" atau "Silahkan mas didoakan pasiennya!" Saya sejenak merenungkan profesi saya. Usia produktif seperti saya jutrsu tidak menyumbang apa-apa untuk orang lain.
Akan tetapi, muncul pertanyaan kritis dalam diri saya "Bukankah kehadiran itu mahal dan tidak semua orang bisa melakukannya?" Di zaman sekarang krisis kehadiran menjadi problem krusial searah berkembangnya teknologi.
Ada bersama justru menjadi momen yang langka dan bahkan harus dibeli dengan harga yang mahal. Untuk janjian ketemuan, sesorang harus ngeluarin banyak biaya. Tetapi, saya memilih 'tuk hadir kapan saja orang membutuhkan dan menawarkan diri untuk hadir.Â
Para pasien justru mengalami hal demikian -- tahap dimana mereka benar-benar membutuhkan sosok pendamping sekedar bercerita, guyon atau basa-basi hal yang tidak perlu.Â
Ruang dan waktu memang ada, tetapi adakah yang mau mengisi ruang dan meluangkan waktu? Hemat saya, lawan dari cinta di zaman sekarang bukan lagi benci, tetapi ketidakpeduliaan atau memilih absen.
Ketidakhadiran menunjukkan bahwa saya tidak peduli. Inilah yang bisa saya pelajari dari tim Passosmed selama berdinamika. Hadir itu mahal seperti halnya hidup itu sendiri mahal, maka perlu adanya interaksi terus-menerus.
Memberi diri, tapi kadang gak dianggap. Itulah resiko jika kita hanya pandai bermain dengan sastra, filsafat, seni, teologi, dan ilmu-ilmu non-eksak lainnya.
Tapi perlu diingat bahwa semua jenis pengetahuan memiliki lahan untuk disemai. Seperti halnya ilmu kedokteran, hanya bisa berguna ketika lahannya adalah pasien yang kesakitan dan butuh disembuhkan, begitu juga dengan teologi. Teologi memiliki lahannya tersendiri untuk digarap.Â
Teologi berkutat dengan refleksi iman -- apakah seseorang bertahan dengan imannya atau apakah seorang pasien percaya bahwa di luar ilmu kesehatan masih ada kekuatan yang perlu diandalkan?Â
Jika teologi bisa merambah ke ilmu kesehatan, itu sudah sangat luar biasa, walaupun cukup dengan kehadiran. Di sinilah paham kehadiran itu punya beragam nilai.
Maka, penting untuk dimengerti dan dipahami dengan baik bahwa setiap kehadiran punya makna. Sekecil apapun itu, sangat berarti bagi yang membutuhkannya.
Kehadiran generasi milenial terbentuk dalam dua arus besar, yakni kehadiran offline dan kehadiran online. Keduanya dianggap sebagai sebuah bentuk kehadiran. Banyak orang memilih untuk hadir tanpa kehadiran -- menyatakan diri hadir atau ada, tetapi personnya tidak tampak.Â
Kehadiran jenis ini memang dibutuhkan dan bermanfaat, akan tetapi jika aspek menyentuhnya tidak ada, kehadiran jenis ini malah tak bernilai.
Selain itu, bentuk kehadiran lain adalah dengan cara hadir dan menyentuh. Kehadiran jenis ini memang langka karena orang terperangkap dalam kesibukan pribadi dan kelompok.Â
Akan tetapi, dengan hadir dan menyentuh, gerak transformasi atau mengubah justru terlihat. Gambaran singkatnya demikian bahwa saya hadir di samping pasien tanpa interaksi verbal sudah memberi terapi tersendiri untuk si pasien.Â
Selain hadir tanpa interaksi, kekuatan menyentuh -- bersalaman, belaian, rangkulan -- memberi terapi medis yang bermanfaat bagi si pasien.
Hal ini tampak ketika saya berada di ruang ICU, IMC, ICCU atau kamar jenazah. Di keempat ruangan ini, interkasi verbal hampir jarang terjadi, akan tetapi ada unsur lain yang disuguhkan oleh kehadiranku, yakni dengan menyentuh.Â
Kehadiran menjadi nyata jika terjadi interaksi. Interaksi dalam hal ini bisa verbal maupun non-verbal. Oleh karena itu, kehadiran justru menjadi tempat yang juga diperhitungkan dalam proyek live in Teologi Harapan yang kami jalani selama 10 hari di RS Panti Rapih. Saya menyadari kekuatan aspek kehadiran ini ketika doa dan briefing bersama di ruang Passosmed Panti Rapih.Â
Ketika semua tim Passosmed hadir dan ada bersama, hal ini justru memperkaya dan membuka wawasan setiap orang dalam pelayanannya masing-masing. Seorang pelayan tidak bisa sukses dalam pelayanannya jika ia sering absen atau menitipkan absen.
Hal ini justru membuat ia sendiri jenuh dengan tugas pelayanannya. Akan tetapi, jika ia selalu hadir vis-a-vis nyata dalam interaksi, hal ini tidak hanya membuat dirinya kaya, tetapi kehadirannya justru membuat orang lain juga merasa bahwa dirinya ada.
Seorang pasien merasa dirinya ada dan diperhatikan, justru ketika ada yang hadir mendampingi. Ia justru merasa kuat dan memiliki harapan akan sembuh karena ada orang peduli dengan memilih hadir di sampingnya.
Hal yang sama juga terjadi di ruang jenazah. Orang yang meninggal justru bernilai jika ada yang hadir menemani, memandikan, merias dan mendoakannya.Â
Tindakan-tindakan real dari bentuk kehadiran -- menemani, memandikan, mendoakan -- menjadikan makhluk bernama manusia tetap bermartabat dan bernilai dibedakan dari makhluk lain yang tidak berakal budi.
Lebih jauh, semua interaksi yang terlihat dalam bentuk kehadiran menunjukkan bahwa kita peduli dengan sesama.
Hal yang paling mungkin untuk menunjukkan bahwa kita mencintai seseorang adalah dengan memilih hadir bukan absen sebagi bentuk kepedulian kita kepada sesama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H