Waktu liburan terlama jatuh pada tahun ini. Sudah memasuki hampir empat bulan, dunia berlibur. Ini waktu libur umum. Libur sekolah, libur kerja, dan lain-lain. Banyak orang mendambakan waktu liburan dalam hidup. Tapi, kali ini, agaknya masa liburan itu diwajibkan. Jika tidak, maka kena sanksi.
Baik juga sebetulnya. Orang diwajibkan libur. Dengan berbagai kesibukan, kelelahan, kepenatan, dan kerja keras, akhirnya liburan juga. Uniknya liburan kali ini adalah sebuah kewajiban.Â
Sebuah keharusan (imperatif). Jika perusahaan atau kantor tempat bekerja tidak mau membuat keputusan untuk meliburkan karyawannya, maka pemerintah akan mengambil-alih kebijakan untuk meliburkan.
Intinya tahun ini, waktu liburan melampaui yang seharusnya. Tidak biasa dan ke depannya perlu dibiasakan. Kita tak tahu, sampai kapan sekolah-sekolah menjadi kosong, kita tak tahu sampai kapan kampus-kampus tak berpenghuni, dan kita tak tahu sampai kapan gereja, masjid, wihara, dan pura tak didiami. Kita tak tahu sebab kita masih ada dalam masa liburan.
Dalam bahasa Inggris, istilah liburan dikenal dengan sebutan "holiday." Kata "holiday" sendiri, pada dasarnya berarti "hari suci," seperti halnya orang Inggris tradisional memaknai arti kata itu.Â
Maka, satu-satunya hari libur adalah saat pasta-pesta keagaamaan atau "holy days." Dengan demikian, dari sudut "timing," seluruh kehidupan masyarakat Inggris dan negara-negara Eropa lain ditentukan oleh titik-titik orientasi yang bersifat keagamaan, seperti Natal, Paskah, Kenaikan Tuhan, Pentakosta, dan lain-lain.
Transformasi pemaknaan "holiday" kian hari kian hilang dari makna asalinya. Makna "holy days" sebagai hari-hari suci justru berubah makna menjadi hanya hari libur semata. Hari libur dalam arti orang tidak bekerja justru menjadi semakin kuat ketimbang "holyday" sebagai hari pesta-pesta keagamaan.
Transformasi makna hari libur juga semakin jauh dari makna asalinya di tengah pandemi ini. Institusi agama bahkan tak lagi mampu mengontrol makna liburan, karena setiap hari menjadi waktu liburan bagi setiap orang. Di saat sekarang, orang wajib libur. Tanpa adanya pesta-pesta keagamaan, semua orang wajib libur, diliburkan, dan meliburkan diri.
Banyak pertanyaan muncul soal kapan liburan usai agar semua kegiatan boleh dijalankan seperti semula. Pertanyaan ini tak mudah dijawab. Soalnya, proses transmisi virus korona masih berlangsung. Jangan gegabah dulu.Â
Tetap di rumah. Tetap bekerja dari rumah. Ya, tetap liburan dulu. Jangan gegabah masuk kantor, masuk sekolah, masuk mall, masuk kampus. Kita masih dalam masa liburan.
"Jadi, kami masih libur ya, bu?" tanya salah satu siswa SMP.
"Ya, kalian tetap tenang di rumah. Jangan dulu ke sekolah. Pemerintah belum mengizinkan sekolah-sekolah dibuka."
Kita tetap libur. Kesehatan masih menjadi prioritas kita untuk tahun ini. Demi kesehatan, pengetahuan tak usah dipikirkan. Demi kesehatan, kita tak perlu mencari nafkah.Â
Nanti ada yang mengantar makanan. Ada relawan. Ada solidaritas. Ini kan zaman dengan konsep semua berbasis orderan. Mau makan tinggal order. Pemerintah menyupalai semuannya.
Tapi sampai kapan? Ini sudah hampir lima bulan. Bagi makanan sudah sering. Bagi masker sudah. Bagi sembako sudah. Bagi keterampilan sudah. Bagi uang juga sudah.
Masa liburan kali ini banyak diisi dengan kegiatan bagi-bagi. Semuanya ini dilakukan agar masa liburan itu cepat usai. Biar orang kembali sibuk bekerja, sekolah, dan lain-lain.
Liburan kali ini, juga penuh cerita epik-elegi. Liburan di rumah saja. Definisi liburan benar-benar tak mampu didefinisi. Liburan tak bisa dinikmati. Kita berlibur dengan sistem "via." Tepatnya berlibur dalam fantasi sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H