Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Apakah Keadilan Harus Lahir dari Hukum?

25 Oktober 2020   20:40 Diperbarui: 25 Oktober 2020   20:57 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus "Papa Minta Saham" yang menyeret Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto adalah contoh dari penegakan hukum dan keadilan yang chaos. Setya Novanto dijerat kasus pelanggaran kode etik atas tindakannya merampas aset negara. Konspirasinya dengan pengusaha Muhammad Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin menunjukkan secara gamblang bahwa Setya Novanto -- yang saat itu juga menjabat sebagai Ketua DPR RI -- melanggar hukum dan harus dihukum.

Akan tetapi, pihak penegak keadilan -- dalam hal ini Dewan Kehormatan Dewan DPR RI dan Pengadilan RI -- justru menyatakan Novanto tidak bersalah. Dan, ironisnya saat itu, Setya Novanto kembali menjabat sebagai Ketua DPR RI menggantikan Ade Komarudin. 

Setya Novanto beberapa kali lolos dari upaya penegakan hukum sebelum akhirnya sekarang ia dijerat kasus korupsi pengadaan E-KTP.  Selain Novanto, Budi Gunawan juga lolos dari tuduhan korupsi yang dialamatkan kepadanya. Melalui sistem praperadilan, Budi Gunawan akhirnya bebas dari jeratan hukum.   Penegakan hukum atas kasus Setya Novanto dalam kasus "Papa Minta Saham" dan kasus Budi Gunawan menunjukkan wajah baru hukum di Indonesia.

Hukum di Indonesia lebih runcing ke bawah dan tumpul ke atas. Konsekuensinya, keadilan adalah milik penguasa. Kekuatan penegakan keadilan berada di tangan penguasa, pemilik modal yang mampu membeli kata sepakat dalam sidang dan di dalam ambisi berkuasa. 

Kasus yang menimpa 10 anak penyemir sepatu di Bandara Soekarno-Hatta, yang sebagian besar siswa SD yang dipenjara karena terlibat main tebak-tebakkan sisi koin dengan taruhan Rp 1.000.

Kasus nenek Minah yang terbukti mencuri tiga butir buah kakao dari kebun milik PT Rumpun Sari Antan di Bayumas Jawa Tengah dan kasus nenek Asyani yang didakwa mencuri tujuh batang pohon jati di desa Jatibanteng Situbondo, Jawa Timur adalah koreksi penting atas penegakan hukum di Indonesia. Hukuman yang diberikan kepada ketiga orang dalam kasus di atas sangat mencederai rasa keadilan dan memperburuk citra hukum itu sendiri.

Menilik fenomena ketidakadilan dalam penegakan hukum (law enforcement) di atas, penulis didorong untuk mendalami konsep keadilan dengan bantuan pemikiran filosof Prancis, Jacques Derrida. Dalam bukunya Force of Law: The Mystical Foundation of Authority, Derrida berusaha menampilkan sebuah percobaan yang provokatif untuk mencairkan setiap pembakuan makna keadilan dan mempersoalkan secara radikal setiap pemastian makna keadilan. Para penganut aliran positivisme mengatakan bahwa keadilan hanya ditemukan dalam tatanan hukum.

John Austin, salah satu penganut aliran ini, berpendapat bahwa hakikat hukum terletak pada unsur perintah. Menurut Austin, pihak superior adalah orang yang berewenang untuk menentukan apa yang diperbolehkan. Kekuasaan dari superior ini, memaksa orang untuk taat pada hukum yang berlaku. Menurut Derrida, keadilan bukanlah kesesuaian dengan hukum dan juga bukan sesuatu yang melampaui hukum.

Keadilan adalah sebuah gerak yang tidak lain daripada dekonstruksi itu sendiri. "Deconstruction is justice". Keadilan sejatinya melampaui hukum dan putusannya. Bagi Derrida, apa yang diputuskan sebagai yang adil menyiratkan sesuatu yang tidak terputuskan. Dekonstruksi, dalam hal ini, bertolak dari hal yang tidak terputuskan dan berakhir di dalam hal yang tidak terputuskan. Derrida menyebut dekonstruksi adalah keadilan. Gagasan dekonstruksi keadilan bermula dari adanya dua tegangan, yakni ketegangan antara hukum dan keadilan itu sendiri.

Hukum bisa diperbaiki dan diganti dengan hukum yang baru (amandemen). Pergantian sistem dan perbaikan hukum terus-menerus adalah sebuah dekonstruksi atau meningkatnya daya kritis atas hukum. Akan tetapi, menurut Derrida, keadilan bukanlah hukum. Keadilan tidak pernah direduksi hanya ke dalam hukum. Pelembagaan konsep keadilan hanya ke dalam tatanan hukum, membuat segala bentuk pencarian mengenai keadilan di luar hukum dihentikan. Mengenai hal ini, Derrida menulis:

"Keadilan adalah dorongan, impuls, perkembangan untuk memperbaiki hukum, yakni agar hukum bisa didekonstruksi. Tanpa panggilan akan keadilan, kita tidak akan memiliki ketertarikan untuk mendekonstruksi hukum. Oleh karena itu, saya katakan bahwa kondisi yang memungkinkan dekonstruksi adalah sebuah panggilan menuju keadilan. Keadilan tidak direduksi hanya pada hukum, atau hanya pada struktur sistem norma yang legal. Hal ini berarti bahwa keadilan tidak serupa dengan dirinya sendiri."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun