Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Seni: Sesuatu yang Kamu Kencingi

17 Oktober 2020   05:58 Diperbarui: 17 Oktober 2020   06:13 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebuah karya seni yang baik dan berhasil, selalu lebih besar dari maksud pengarangnya. Jika karya seni dikurung dalam ide pengarang atau maksud pengarang, karya seni tersebut justru tidak akan mendapatkan bentuk yang baik.

Bahkan seorang seniman Marcel Duchamp dalam "Fountain" (1917) mengubah seluruh kriteria penilaian seni dengan pernyataannya yang cukup anarkis demikian: "Art is something you piss on" (seni adalah sesuatu yang kamu kencingi). Inilah transformasi pemahaman mengenai seni dan sastra.

Marcel Duchamp memperkenalkan istilah "seni sebagai sesuatu yang dikencingi" sebagai cara ia mengkritik pola penilaian karya seni klasik yang sangat kaku, seperti straight pada penekanan unsur keindahan bentuk, keanggunan, harmoni, apik, dan bersih. Ketika diadakan pameran seni besar-besaran di Amerika Serikat, Duchamp justru mengirimkan karya seninya berupa toilet gantung bekas kencing. Menurut dia, itulah karya seni modern. Tidak indah, bau, kotor, dan tak elok dilihat.

Umumnya, sebuah sebuah karya seni lahir pertama-tama karena kekaguman, ketakjuban, dan keterharuan seseorang terhadap sebuah realitas. Tidak hanya rasa kagum. Di sana juga ada perasaan sedih, ditolak, takut, diabaikan, minder, galau, dan lain-lain. Semuanya bercampur baur. Dalam benak si seniman, semua perasaan ini tak mungkin tertampung lagi. Karena berlimpah-ruah dan tertampung, maka yang lainnya terpaksa dituangkan dan dikelola menjadi sebuah karya seni. Inilah cikal-bakal lahirnya karya seni.

Jika kita mengawasi proses persalinan seni, kita akan menemukan sebuah kompetisi besar antara sains dan seni. Di zaman modern, sains berkuasa dan mengambil alih semua pengetahuan. Sains memonopoli sumber-sumber pengetahuan dan mencaplok habis realitas. Dan, upaya sains menjadi penguasa dikatakan berhasil.

Sains berhasil karena sains mampu menunjukkan bukti kemahatahuan dan kemahakuasaannya dengan benar. Sains bisa menunjukkan letak kesalahan dengan perhitungan matematis. Sains bisa memprediksi gravitasi dan hukum fisika. Sains terbukti benar.

Jika, sains yang adidaya melahap semua sisi alam semesta, lalu bagaimana karya seni berkiprah? Apa yang diambil seni dari realitas sebagai bahan bakunya untuk tetap eksis? Seni melalui seorang seniman, sejatinya justru "mengais" sesuatu yang belum pernah diambil oleh sains. Jadi, seni mengambil wilayah-wilayah yang belum pernah dijamah dan diekspos oleh pengetahuan. Di sinilah seni berperan.

Kita memang tidak bisa memungkiri bahwa seni dan agama memperebut wilayah yang sama, yakni sesuatu yang tidak diekspos pengetahuan melalui sains. Wilayah-wilayah yang diperebutkan tersebut dijelaskan masing-masing oleh agama dan seni melalui bahasanya sendiri. Agama memahat wilayah yang tak terjamah pengetahuan menjadi teologi, sedangkan seni memahat wilayah yang berhasil direbutnya dari sains dengan bahasanya sendiri, menjadi sebuah karya seni.

Baik agama dan seni, keduanya sama-sama mempertahankan keunikannya berhadapan dengan sains. Agama menjadi tetap eksis karena mampu menyatukan masyarakat. Jika tidak bisa menyatukan masyarakat, mungkin agama sudah lama dilepaskan. Daya pemersatulah yang membuat agama tetap direngkuh, dipeluk, dan dicover sekuat jiwa dan raga. Sama halnya dengan seni. Jika seni tidak mampu menghidangkan sesuatu yang sama sekali baru dari realitas, ia justru ditinggal pergi. Ia tak dikunjungi dan mati.

Berhadapan dengan kemajuan teknologi dan pengetahuan, orang berlomba-lomba untuk mempertahankan wilayah kajiannya. Seni pun berjuang. Seorang seniman tak berhenti pada fantasi dan imajinasi. Ia dituntut untuk menyajikan imajinasi ke dalam wadah, entah itu bernama tulisan maupun gambar. Yang paling menarik dan penting di sini adalah, sebuah karya seni lahir karena pengalaman personal sang seniman atau sastrawan.

Seorang penulis puisi, katakanlah bisa menulis puisi berjudul matahari, ya pertama-tama karena ia kagum sama kekuatan dan kesetiaan matahari dalam menerangi bumi. Ia pertama-tama takjub, terharu dan bergolak dengan realitas. Atau seorang pelukis mampu melukis wajah seorang perempuan justru karena ia kagum dengan seseorang makhluk berinisial perempuan.

Dalam hal ini, karya seni menetas karena si seniman tak lagi mampu membendung semua perasaannya atas realitas atau objek tertentu. Kekaguman dan ekspresi lain yang melimpah-ruah itu, kemudian disalurkan melalui tulisan dalam bentuk puisi, novel, atau jenis sastra yang lain, atau juga disalurkan melalui kegiatan melukis.

Tapi tidak semua orang bisa menjadi demikian. Ada orang yang daya fantasinya lebar dan dalam, akan tetapi tidak mampu menghasilkan karya apapun. Mereka ini menjadi seniman hanya untuk imajinasinya sendiri. Konsekuensinya, karya seni mereka tidak mendapat apresiasi -- karena tak berbentuk.

Sejatinya, seorang seniman justru menjadi benar-benar seniman ketika ia mampu menunjukkan apa yang ia fantasikan ke dalam sebuah bentuk, entah lukisan, bunyi, maupun tulisan. Pada tahap ini, si seniman menyadari kekuatan di balik fantasinya sendiri.

Lalu pertanyaannya adalah apa sebetulnya yang dikagumi para penikmat karya seni atas sebuah karya seni? Apakah mereka menikmati karya seni seperti yang dimaksudkan pengarang, atau mereka justru menciptakan karya seni baru melalui pengamatan? Ketika membaca sebuah puisi, saya pertama-tama tertarik pada diksi si penulis.

Pilihan kata si penulis energik, indah, berirama, dan menginspirasi. Di sini, saya kemudian bertanya "Betulkah apresiasi seni yang tengah saya ungkapkan menunjukkan hal yang sama dialami si penulis ketika mulai menulis puisinya?" "Apakah maksud pengarang puisi sama dengan maksud apresiasi saya?"

Jika puisi katakanlah merupakan sebuah ungkapan perasaan kagum, terharu, dan takjub dari seseorang yang begitu berlimpah-ruah, maka kekaguman lain yang muncul dari perasaan para penikmat karya seni adalah ciri dari karya seni yang berhasil. Dalam hal ini, ketika maksud awal si pengarang mendapat pelebaran makna dan nilai, karya seni tersebut justru kaya nilai.

Sebaliknya, jika si pengarang atau seniman "ngotot" agar karyanya tidak boleh diinterpretasi, karya seni tersebut justru belum berhasil dari segi pasar nilai dan intensi.

Pada saat-saat tertentu, kita menemukan ambiguitas dalam memahami karya seni. Antara maksud pengarang-penulis dan maksud penikmat-pembaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun