Aksi demonstrasi pada Kamis, 8 Oktober 2020 kemarin, sungguh melukai usaha dan harapan bangsa ini keluar dari lilitan pandemi virus corona. Bagaimana mungkin, ketika semua dinamika hidup yang berpotensi mengumpulkan massa (pilkada, sekolah, ibadah, kerja pabrik) dihentikan, aksi ugal-ugalan massal dengan dalih menolak UU Cipta Kerja justru dipertontonkan di mana-mana.Â
Semua orang lalu ditarik ke titik fokus, yakni tolak UU Cipta Kerja dan demonstrasi. Masalah besar di negara ini kemudian segaja dilupakan. Pandemi Virus Corona seakan telah usai.Â
Bagaimana para petugas medis berkomentar? Katakan sesuatu soal kerumunan dan demonstrasi kemarin. Suara kalian adalah senjata yang mengubah. Katakan sesuatu!
Beberapa bulan yang lalu, tagar Indonesia Terserah (#indonesiaterserah) sempat viral di media sosial. Tagar ini diunggah oleh para petugas medis sebagai reaksi atas perilaku masyarakat Indonesia yang tidak taat protokol kesehatan.Â
Perilaku masyarakat yang mengabaikan upaya tim medis dalam menangani pandemi virus corona sempat membuat para petugas medis di negeri ini give up.Â
Akan tetapi, keluhan mereka melalui tagar Indonesia Terserah, kemudian pelan-pelan ditanggapi masyarakat Indonesia dengan kesan-kesan positif. Dengan itu, stamina petugas medis kembali ditingkatkan.
Sepintas, realitas ini menunjukkan bahwa peran petugas medis saat ini sangat berpengaruh terhadap ruang gerak publik di Indonesia. Jika para medis bersuara, masyarakat pasti tunduk. Ketika para medis mengeluh, masyarakat langsung memberi support.Â
Oleh karena itu, para medis  menggotong peran penting dalam situasi pandemi Covid-19 sekarang. Segala anjuran mereka pun menjadi penawar mahal untuk bertahan hidup melawan pandemi virus corona.Â
Salah satu anjuran yang getol disuarakan adalah menghindari kerumunan (social distancing). Akan tetapi, bagaimana dengan aksi demo menolak Omnibus Law pada, Kamis, (8/10/2020) kemarin?
Demonstrasi dan Kerumunan Â
Aksi demo di berbagai daerah pada Kamis, (8/10/2020) kemarin disengat banyak massa. Di Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Lampung, Palembang, Malang, dan Makasar, massa yang turun ikut berdemo tak mampu dihalau aparat dan garda protokol kesehatan.Â
Orang beramai-rami turun ke jalan tanpa beban. Tanpa protokol kesehatan. Masker ditanggalkan, jarak rubuh, dan aksi "saling sentuh" menjadi momen viral diunggah ke media sosial.
Aksi demo dan unjuk rasa menuai banyak komentar. Ada yang mendukung dan ada yang mengutuk-menolak. Bagaimana mungkin di tengah upaya memutuskan rantai penularan Covid-19, kerumunan justru dibiarkan.Â
Potret realitas memperlihatkan bahwa kerumunan sebagai salah satu musuh besar bangsa ini selama masa pandemi Covid-19 tak disentuh polemik ketika aksi demo berlangsung.Â
Semua orang fokus dengan aksi demo seakan-akan negeri ini sudah selesai dengan urusan virus corona, lalu tidak memerlukan lagi protokol kesehatan. Hemat saya, hal ini merupakan anomali yang dibiarkan tanpa adanya kesadaran dan keseriusan bangsa ini menangani pandemi Covid-19.
Menyaksikan aksi demonstrasi kemarin, saya justru mempertanyakan kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah selama masa pandemi ini. Sebagai contoh. Ketika polemik pilkada mengular di berbagai portal media, banyak orang berdebat soal urgensi dan kemendesakan kegiatan ini.
Persoalan pun jatuh pada perdebatan soal keselamatan rakyat dan kesehatan bangsa. Kita tahu bahwa pilkada, dalam proses dan dinamikanya, erat kaitannya dengan kerumunan (kampanye, mengumpulkan massa).Â
Untuk itu, demi mencengah munculnya klaster baru penyebaran virus corona, semua dinamika alami dalam pilkada tahun ini dialihkan ke dalam jaringan (daring). Ini strategi dan kebijakan. Arahnya, tak lain, demi keselamatan bangsa ini dari serangan pandemi virus corona.
Sejauh ini, kita sepakat bahwa semua kegiatan yang berpotensi mengumpulkan massa ditertibkan dan 'tak lagi diberi ruang. Alhasil, sekolah dialihkan ke beranda virtual.Â
Kerja dialihkan ke dunia daring. Ibadah digeser ke ruang maya. Untuk semuanya ini kita taat. Kita patuh. Kita setuju. Kita 'tak banyak berdebat. Kita tunduk. Kita solider dengan para petugas medis. Kita memberi support untuk mereka dengan menaati protokol kesehatan.Â
Lalu bagaimana dengan aksi demo kemarin? Aksi demo jelas-jelas mempertontonkan kerumunan. Apa keunggulan aksi demonstrasi sehingga dibiarkan tanpa upaya penertiban? Apa kemendesakan aksi demonstrasi sehingga aparat negeri ini enggan berbuat sesuatu?
Menanti Suara Medis
Hingga detik ini, para petugas medis 'tak ada satu pun yang berkomentar atau mengeluh. Semua bungkam. Sunyi, senyap, dan sepi. Keluhan lelah selama ini pernah dilontarkan, malah 'tak terdengar jelang aksi demonstrasi.Â
Keluhan dengan hastag Indonesia Terserah tak muncul di portal media. Isak tangis karena bekerja keras sebagai garda terdepan melawan pandemi virus corona, lenyap ditutup suara kerumunan para demonstran.Â
Mengapa? Kenapa? Apa sebetulnya yang tengah dipikirkan para petugas medis ketika menyaksikan aksi demo menolak UU Cipta Kerja pada Kamis, (8/10/2020) kemarin?
Saya tentunya, dalam hal ini, tidak sedang menghakimi para petugas medis. Saya hanya menggugat eksistensi suara mahal kalian. Selama ini, bangsa dan negara ini bisa tunduk karena mendengar jeritan dan keluhan kalian bekerja keras melawan pandemi virus corona.Â
Ketika sebagian warga negara ini pernah mengabaikan protokol kesehatan, kalian sebagai garda terdepan langsung mengobral keluhan. Ketika ada sebagian dari warga negara ini pernah berniat untuk mengumpul massa karena menganggap corona hanya konspirasi belaka, kalian langsung mengkritik. Sekali lagi, para tim medis, saya hanya menggugat suara emas dan mahal kalian.
Saya tahu, yakin, dan percaya, hingga saat ini kalian (pera petugas medis) sedang lelah mengurus kesehatan bangsa dan negara ini. Saya percaya suadara-saudara yang lain juga mengharapkan suara kalian di tengah wabah aksi demonstrasi besar-besaran di tanah air ini.Â
Sketsa lelah kalian sempat diabadikan. Hasil kajian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menunjukkan sketsa kelelahan yang dialami para petugas medis.Â
Dari kajian mereka, seperti dikutip Kompas, Sabtu, (5/9/2020), gejala kelelahan lebih banyak ada pada gejala keletihan emosi (58,9%), gejala kelelahan empati (78%), dan gejala rasa percaya diri (47,8%). Jika membidik jumlah tenaga medis yang terpapar virus kelalahan, kita bakal mendapati jumlah yang 'tak enak didengar.Â
Menurut data Ikatan Dokter Indonesia (IDI), sebanyak 105 dokter meninggal karena Covid-19. Adapun dokter gigi sebanyak sembilan orang dan perawat 75 orang. Angka ini seperti menyusul data pasien yang meninggal gara-gara Covid-19.
Di tengah situasi lelah yang dialami para petugas medis, bangsa dan negara ini tetap menanti suara peredam untuk aksi ugal-ugalan sebagian orang yang kurang bersolider dalam menangani pandemi virus corona.Â
Jika para petugas medis bereaksi, saya yakin pasti semua warga negara ini patuh dan tunduk, dan mau bersolider. Jika suara keluhan para petugas medis menjamur di media sosial, saya pastikan, aksi demonstrasi jilid berikutnya tak lagi dilakukan. Suara kalian (petugas medis) sungguh mampu meredam dan membuat keributan di negara ini bisa teratasi.
Saat ini, kalian tak hanya mengontrol lini kesehatan. Saat ini, bangsa ini dengan segala kerumitan dan polemiknya mampu ditegur oleh suara mahal dan emas kalian.Â
Untuk itu kami menanti suara kalian mengomentari dan bereaksi soal kerumunan dan aski demonstrasi yang sudah, sedang, dan mungkin akan berlangsung lagi. Tolong katakan sesuatu untuk penghuni negara ini.Â
Tolong katakan sesuatu untuk mereka yang baru saja pulang melakukan aksi demonstrasi! Tolong katakan sesuatu untuk mereka yang mungkin saat ini tengah bersiap-siap untuk berdemo dan mengumpulkan massa. Tolong katakan. Katakan sesuatu! Suara kalian adalah suara perubahan. Sekali lagi, katakan sesuatu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H