Iklim bangsa dan negara ini, kurang baik. Mendung menjemput hujan, pandemi Covid-19 menanti vaksin, dan akhir-akhir ini UU Cipta Kerja kian menanti penjelasan. Menunggu.Â
Di saat-saat kritis demikian, apa yang perlu dibenah adalah cuaca hati: "Bagaimana mengatur cuaca hati agar tak cepat tersulut api." Di beberapa pusat fasilitas publik, di Jakarta dan Yogyakarta misalnya, api menyulut dan melempar pijar. Dari pantuan mata pengguna media sosial, sangat jelas memperlihatkan bahwa iklim bangsa dan negara ini kian memanas. Ada apa dan apa yang sebaiknya perlu dilakukan?
Pandemi dan Kesehatan
Cuaca buruk menyelimuti Indonesia sejak Maret 2020. Kala itu, tak hanya Indonesia, dunia juga ikut dilanda badai pandemi Covid-19. Berangkat dari Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, virus corona mengepakkan sayap hingga ke kampung-kampung. Sontag, ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, dan lebih-lebih wabah ketidaksiapan membuat kita semua panik bukan main. Seketika, dunia ini dilanda wabah masker, wabah PHK, wabah pengangguran, wabah daring, wabah misinfodemik, wabah bangkrut, wabah panik, dan wabah darurat kesehatan.
Situasi ini sudah berlangsung selama kurang lebih delapan bulan. Kita pun tak bisa berbuat apa-apa. Tak banyak gerak. Tak cukup ruang. Tak banyak aktivitas bisa dilakukan. Tak banyak perjumpaan. Tak banyak sentuh. Semua dipalang jarak dan masker. Maka, seketika itu juga, jarak menjadi skema bertahan hidup dan dekat itu maut dan merenggut nyawa. Iklim ini tak sepenuhnya bisa dijangkau prediksi.Â
Kemarin sempat dikira, pandemi ini memuncak di pertengahan Juni 2020 dan berangsur-angsur hilang pada awal Agustus 2020. Lagi-lagi, tebakan ini meleset. Apa yang mungkin bahwa, cuaca bangsa akibat pandemi Covid-19 tak mudah diperangkap pasti.
Satu-satunya alternatif cara adalah mengoptimalkan penerapan protokol kesehatan. Di sana ada berbagai anjuran: jaga jarak, pakai masker, cuci tangan, dan di rumah saja. Jauh dari mekanisme ini, nyawa terancam. Sungguh menakutkan.Â
Saya sendiri tak punya pilihan lain selain mengikuti anjuran yang ada. Latar belakang pendidikan dan keluasan pengetahuan saya, membuat saya pakem terpaku pada kebijakan yang dikelola secara massal. Dengan cara-cara demikian, saya pun ikut membantu proses pemulihan bangsa dan negara ini. Ini cara saya. Cara yang lahir dari keterbatasan sebagai pribadi.
Di luar diri saya, tentunya ada usaha untuk menghentikan iklim buruk akibat pandemi. Ada usaha mencari, menemukan, dan bahkan menciptakan yang namanya vaksin. Dengan cara ini, kata kebanyakan orang dan mereka yang paham betul soal iklim kesehatan negeri ini, pandemi virus corona dapat teratasi.Â
Sambil menunggu vaksin, anjuran untuk tetap mengenakan alternatif protokol kesehatan tetap digaungkan. Di halte tunggu, kita tetap jaga jarak, menjauhi apa lagi menginisiativi adanya kerumunan, mencuci tangan, dan memakai masker. Semuanya ini demi menjamin proses pemulihan bangsa dan negara ini.
Vaksin itu, jika diterjemahkan, bisa saja semacam "new normal." Hal ini menunjukkan bahwa vaksin yang bakal ditemukan tak sepenuhnya membunuh virus corona. Maka, ketika vaksin ditemukan, segala aktivitas tetap berjalan dalam ritme waspada dan hati-hati.Â
Dengan kata lain, optimisme penemuan vaksin tak menghilangkan kebiasaan menjaga jarak, mencuci tangan, dan memakai masker. Maka, di tengah masa penantian ini, protokol tetap dijaga dan dihidupi.
Omnibus Law dan Kesejahteraan
Arah munculnya UU Cipta Kerja menurut Presiden Joko Widodo adalah kesejahteraan (welfare). Jika UU Cipta Kerja hanya untuk kebahagiaan para pengusaha dan penguasa, menurut Jokowi, itu tidak benar. Latar belakang lahirnya UU Cipta Kerja tentunya ditengarai oleh siklus ekonomi yang kian melambat dan situasi geo politik global yang kian memanas.Â
Semua situasi ini ikut memengaruhi ritme ekonomi nasional Indonesia. Selain situasi geo politik global, iklim buruk ekonomi dunia juga sangat dipengaruhi oleh adanya transformasi rapid di bidang teknologi dan informasi. Perubahan ini kemudian melahirkan ekonomi digital (digital economy).
Latar situasi ini, hemat saya, tentunya menentukan ruang gerak kerja dan ketersediaan lapangan kerja. Dari data ketenagakerjaan disebutkan bahwa jumlah pengangguran ada 7,05 juta orang dan angkatan kerja baru berkisar 2 juta orang per tahun. Jika data ketenagakerjaan memperlihatkan realitas demikian, maka pemerintah merasa bertanggung jawab untuk menyiasati semua situasi demikian.
Di portal investasi, hingga per 2019 kemarin realisasi investasi mencapai Rp 601 triliun. Bagi kita, ini belum cukup untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, pemerintah memerlukan strategi ekstra agar menarik investasi. Dan, salah satu caranya adalah dengan memperbaiki regulasi yang cenderung tumpang-tindih dan sangat berbelit-belit.
Pada 12 Februari 2020 kemarin, proposal Program Legislasi Nasional (prolegnas) Tahun 2020 diajukan pemerintah ke DPR. Pemerintah dalam hal ini berupaya memangkas, menyederhanakan, dan menyelaraskan berbagai regulasi demi menarik investasi. Upaya ini pun menghasilkan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Omnibus Law).Â
Pada Senin, 5 Oktober 2020, DPR mengesahkan RUU Cipta Kerja ini menjadi Undang-Undang (UU). Proses persalinan ini tidak tanpa polemik. Sejak UU Cipta Kerja disahkan pada Senin, 5 Oktober, polemik, hoax, undangan demo, dan kericuhan memanas dan memuncak pada Kamis, 8 Oktober 2020. Pertanyaan saya adalaha: "Bagaimana mungkin niat baik pemerintah dengan strategi Cipta Kerja dan Lapangan Kerja direspon dengan penolakan?"
Nama UU yang mengantong polemik ini, hemat saya sudah memberi gambaran jelas tentang fungsi, tujuan, dan harapan bangsa ini. UU Cipta Kerja. Apalagi yang sebetulnya dipermasalahkan? Mekanisme UU Cipta Kerja sudah berorientasi pada penyediaan lapangan kerja. Dengan memangkas, merampingkan, dan mengatur ulang regulasi yang ada, peluang investasi bisa secapatnya mendarat di Indonesia.Â
Secara sederhana, ada 12 klaster pembahasan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, antara lain: penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, kemudahan pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, dan rencana kawasan ekonomi. Dari 12 klaster pembahasaan ini, jelas terlihat bahwa pemerintah sungguh-sungguh berorientasi pada kesehatan ekonomi dan kesejahteraan bangsa ini.
Semua proses distribusi gagasan, arah dasar, dan outlook ekonomi bangsa ini tak lepas dari dialog-komunikatif. Ruang dialog-komunikatif ini diperlukan, agar semua orang, pertama-tama paham lalu disupport untuk ikut ambil bagian dalam program yang dimaksud. Profil pengesahan UU Cipta Kerja, hemat saya, ada dalam kerangka ini.Â
Sebagai UU yang lahir dari usulan pemerintah, alangkah baiknya pemerintah juga memberikan semacam briefing soal visi-misi, isi, dan prospek yang dicapai ketika UU ini nantinya berlaku. Ini sebetulnya yang diharapkan dari aksi unjuk rasa dan demonstrasi kemarin, Kamis (8/10/2020). Penjelasan dengan mekanisme merangkul dan meng-clear-kan apa yang terlanjur eror di mata publik mampu menyelesaikan polemik yang ada.
Rasa kurang puas dari publik, hemat saya, selalu terjawab dengan dialog-komunikaf yang merangkul. Memang 12 menteri sudah diutus untuk memberikan penjelasan singkat seputar prospek dari UU Cipta Kerja, akan tetapi dalam hati masyarakat selalu ada kerinduan untuk mendengar langsung dari kepala rumah tangga bangsa dan negara ini, yakni Presiden Joko Widodo tentang harapan baik dari pemberlakuan UU Cipta Kerja. Dan, buktinya, banyak yang merasa puas, paham, diteguhkan, serta ditenangkan dengan penjelasan presiden pada konferensi pers Jumad, (9/10/2020) kemarin.Â
Sekali lagi manfaat ruang dialog-komunikatif sungguh memberi jalan dan menjembatani segala persoalan kita di tengah masa pandemi ini. Jika sekolah, dunia kerja, bisnis-usaha, mampu menerapkan komunikasi ruang publik ini, mengapa di saat UU Cipta Kerja menimbulkan polemik, cara ini tak segera dipakai?
Menurut Jokowi, alasan utama, ambruknya mekanisme ini adalah karena pandemi misinformasi yang terlanjur viral. Berita provokatif, wabah hoax, dan berita bohong terlalu cepat menyerang sendi-sendi hati dan pikiran bangsa ini. Hal ini yang membuat cakram hati dan nalar tak dipakai. Mudah tersulut dan terprovokasi. Maka, prospeknya, kontrol ruang maya dalam hal ini perlu dioptimalkan agar tak ada lagi disinformasi yang menyebar dan memecah-belah kesatuan bangsa dan negara ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H