Jika kondisi kesehatan bangsa dan negara ini sangat baik, demo menolak UU Cipta Kerja mungkin cara terbaik dan berpeluang mengantongi efek. Akan tetapi, nyatanya bangsa dan negara ini sedang sekarat di ruang isolasi. Bangsa dan negara ini lagi tak sehat.Â
Beberapa ruangan, seperti bilik ekonomi, mengalami pendarahan hebat dan butuh penanganan dan kerja sama yang baik dari semua warga negara.Â
Di bilik pendidikan, bangsa ini juga perlu intensive care. Masih banyak bilik lainnya yang butuh penanganan. Artinya apa? Kondisi kesehatan kita memburuk. Butuh kerja sama.
Kita sebetulnya tengah darurat kesehatan dan kesejahteraan karena pandemi Covid-19. Dan, sekarang, kita tengah ada dalam proses pemulihan bertahap dengan mekanisme protokol kesehatan: jauhi kerumunan, jarak jarak (social distancing), cuci tangan, pakai masker, dan sebaiknya di rumah saja (stay at home). Inilah cara-cara terbaik menangani kondisi kesehatan negara ini selama pandemi Covid-19.Â
Lalu bagaimana dengan aksi demo pada Kamis, 8 Oktober kemarin? Massa membeludak, kerumunan di mana-mana, jarak rubuh seketika, masker dilepas, dan semua berbondong-bondong keluar dari rumah.
Secara tidak sadar, aksi kerumunan kemarin adalah watak ketakseriusan kita untuk menjadi sebuah bangsa yang bersatu. Kita sejatinya tengah mengkhianati usaha-usaha membantu memulihkan kesehatan bangsa dan negara ini.Â
Lalu? Coba tanyakan! Tanyakan ke petugas medis soal bagaimana kesan mereka melihat aksi demo hari ini! Tanyakan juga para paslon pilkada tahun ini. Melihat aksi kerumunan hari ini, apakah kampanye akbar dengan mengumpulkan massa diperbolehkan juga? Renungkan saudara-saudara. Semua tindakan kita, jika dilakukan karena baper, pasti menuai banyak resiko.
Mungkin ada isi UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang tak memuaskan hati sebagian orang. Mungkin. Itu wajar. Di ruang internal DPR saja, dua fraksi (PKS dan Demokrat) sempat menolak disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU).Â
Bahkan Benny Kabur Harman sebagai perwakilan dari Fraksi Partai Demokrat memilih walk out bersama perwakilan Demokrat lainnya dari ruang sidang DPR.Â
Sekali lagi, itu biasa. Semua keputusan pasti punya resiko dan konsekuensi. Jika ada yang kurang beres, kita perlu menyikapinya. Lalu, bagaimana cara kita menyikapinya? Itu sebetulnya bobot ekstra dari daya kritis kita, jika kita tak setuju dengan sebuah keputusan.
Hari ini, reaksi atas ketidakpuasan publik terhadap pengesahan UU Cipta Kerja semakin memanas. Di beberapa kota, misalnya, demo justru berakhir ricuh.Â
Di Yogyakarta, demo aksi penolakan UU Cipta Kerja berujung ricuh. Para pendemo yang sebagain besar adalah mahasiswa dan pelajar akhirnya terlibat bentrok dengan petugas keamanan. Bentrok dan ricuh tentunya memukat korban. Jika, demo dan unjuk rasa dibekali hati yang terbuka dan pikiran yang jauh dari provokasi panas di ruang maya, sudah pasti, aksi demo di beberapa daerah hari ini akan berlangsung aman.
Sebagai sebuah negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, kita tentu tak menyayangkan aksi unjuk rasa besar-besaran pada Kamis, 8 Oktober 2020 kemarin.
Kita mengapresiasi langkah mahasiswa, buruh atau siapa saja yang ikut dalam aksi demo dan unjuk rasa. Semua tindakan ini merupakan bukti kepedulian, bukti bahwa kita kritis, dan bukti bahwa kita memiliki Indonesia.
Negara ini sungguh menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Ruang publik benar-benar dibuka tanpa selektif. Ini wajah demokrasi kita. Demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan.
Akan tetapi, aksi demo dan unjuk rasa hari ini cukup disayangkan karena tak lagi memperhatikan situasi kesehatan bangsa dan negara. Ketika bangsa ini tertatih-tatih mencari cara untuk keluar dari cengkraman pandemi virus corona, sebagian orang justru berlaku sebaliknya.Â
Sejauh ini, kebijakan social distancing sudah diterapkan, kerumunan tak lagi diperbolehkan, PSBB sudah berjalan, dan sekarang kita tengah menunggu hasil dari semua tindakan yang kita sepakati itu.Â
Nah, bagiamana dengan aksi demo menolak UU Cipta Kerja? Apa yang terjadi pada aksi demo 8 Oktober kemarin tentunya sungguh di luar dari frame solidaritas bersama dalam menangani pandemi Covid-19. Kerumunan tak lagi dibendung.
Kita bisa memprediksi, aksi demo pada Kamis, 8 Oktober kemarin bakal menjadi kluster baru penyebaran virus corona. Alhasil, percuma dong selama ini kita bersusah payah menjaga jarak, memakai masker, cuci tangan, menerapkan PSBB, isolasi diri, dll., tapi ujung-ujungnya mempertontonkan aksi berkerumun. Percuma selama ini kita berkoar-koar dukung pemerintah dan tenaga medis, tapi ujung-ujungnya kita baper dalam kerumun.Â
Maka, pertanyaannya: "Mungkinkah situasi saat ini bisa terjawab dengan kerumun? Apakah demo dengan kerumunan massa membeludak adalah satu-satunya cara kita mengkritik dan mengutarakan pendapat dan rasa tidak puas?"
Kebijakan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, hemat saya, sangat baik dalam menanggapi reaksi publik atas pengesahan UU Cipta Kerja. Sri Sultan mendengar aspirasi massa dan berjanji akan menyampaikan usulan dan pendapat massa dengan menyurati Presiden Jokowi.Â
Inilah salah satu cara bijak bagaimana kita mengutarakan pendapat dan ketidakpuasan kita terhadap sebuah keputusan. Cara-cara demikian, sejatinya bisa dipakai terutama dalam kerangka melawan pandemi virus corona.
Cara lain yang mungkin ditempuh adalah dengan meminta penjelasan pemerintah terkait isi UU dan hal-hal apa saja yang sebenarnya tak sesuai dengan keinginan mereka yang merasa dirugikan.Â
Dalam hal ini, pemerintah bisa menjelaskan secara transparan di depan publik -- melalui jumpa pers, misalnya -- terkait arah dan niat baik yang terkandung dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja. Dua belas menteri dalam hal ini memang sudah melakukan konferensi pers penjelasan UU Cipta Kerja pada Rabu, (7/10/2020).
Akan tetapi, karena berita terkait isi pasal yang kontroversial terlanjur mewabah dan hoax seputar bahaya UU Cipta Kerja merajalela di portal media sosial, langkah pemerintah pun jauh dari perhatian. Berita soal kesalahpahaman, hoax, berita-berita provokatif menjadi salah satu biang aksi demo besar-besaran pada Kamis, 8 Oktober 2020 kemarin.Â
Penjelasan pemerintah untuk saat ini tertinggal jauh dari breaking dan headline news seputar provokasi, hoax, dan kegiatan aksi demo. Ya, terlampau jauh karena semua portal media sosial diisi penuh dengan aksi demo pada Kamis, 8 Oktober kemarin.Â
Dan, hemat saya, jika hyperlink berita-berita provokatif dan tak benar tak merajalela, aksi demo kemarin mungkin jauh dari kerumunan, heboh, dan ricuh.
Apa sebetulnya cara yang cukup bijak dalam menyikapi polemik ini? Bagaimana dengan dialog? Dialog tentunya menjadi sarana mediasi dan jembatan paling bijak dalam menangani perseteruan pendapat seperti sekarang ini. Inilah yang kita harapkan.Â
Mungkin, kita perlu mendengar sendiri bagaimana Presiden Jokowi berkomentar atau meluruskan informasi yang terlanjur memancing amarah massa hari ini. Biasanya, dengan penjelasan langsung kepala rumah tangga, seluruh anggota rumah tangga pasti menyimak. Dialog langsung dengan pemerintah adalah salah satu cara terbaik menyelesaikan perubahan iklim bangsa dan negara ini terkait polemik UU Cipta Kerja.
Jika, semua hal di atas tak kunjung memuaskan dan menyentuh hati publik, sebagai negara hukum, mari kita gotong masalah ini ke ranah hukum.
Kita biarkan hukum yang mengkritisi, menyoal, mencermati, dan menghidangkan kepada publik dengan keputusan yang tentunya jauh dari intrik kepentingan. Penolakan UU Cipta Kerja, dalam hal ini bisa dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan uji materi (judical review). Tindakan ini juga merupakan cara bijak kita sebagai warga negara yang menjunjung tinggi hukum dan demokrasi.
Singkatnya, masih banyak cara yang bisa ditempuh untuk meluapkan rasa tidak puas, mengkritisi, dan meminta pertanggungjawaban atas sebuah keputusan yang dianggap menyeleweng. Demo atau unjuk rasa, bukanlah cara satu-satunya.Â
Di tengah kondisi kesehatan negara yang kian memburuk akibat pandemi Covid-19, kita seharusnya mengambil tindakan dan cara-cara yang bijak dalam menyikapi sebuah persoalan. Ada tahap dan ada jalur. Jika situasi tak mendukung, apakah sebuah keharusan bagi kita untuk turun ke jalan-jalan dan mengumpulkan massa?Â
Apakah harus, aksi unjuk rasa berujung ricuh? Yang paling penting juga untuk direnungkan adalah "Apakah saya sebagai pendemo tahu betul apa persoalan yang tengah dibicarakan?" Ataukah "Saya ikut demo karena baper?"Â
Jangan sampai karena jenuh di rumah terus dan tak diperbolehkan berkerumun, waktu demo menjadi kesempatan paling baik dan dijamin hukum untuk meluapkan kerinduan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H