Di Yogyakarta, demo aksi penolakan UU Cipta Kerja berujung ricuh. Para pendemo yang sebagain besar adalah mahasiswa dan pelajar akhirnya terlibat bentrok dengan petugas keamanan. Bentrok dan ricuh tentunya memukat korban. Jika, demo dan unjuk rasa dibekali hati yang terbuka dan pikiran yang jauh dari provokasi panas di ruang maya, sudah pasti, aksi demo di beberapa daerah hari ini akan berlangsung aman.
Sebagai sebuah negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, kita tentu tak menyayangkan aksi unjuk rasa besar-besaran pada Kamis, 8 Oktober 2020 kemarin.
Kita mengapresiasi langkah mahasiswa, buruh atau siapa saja yang ikut dalam aksi demo dan unjuk rasa. Semua tindakan ini merupakan bukti kepedulian, bukti bahwa kita kritis, dan bukti bahwa kita memiliki Indonesia.
Negara ini sungguh menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Ruang publik benar-benar dibuka tanpa selektif. Ini wajah demokrasi kita. Demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan.
Akan tetapi, aksi demo dan unjuk rasa hari ini cukup disayangkan karena tak lagi memperhatikan situasi kesehatan bangsa dan negara. Ketika bangsa ini tertatih-tatih mencari cara untuk keluar dari cengkraman pandemi virus corona, sebagian orang justru berlaku sebaliknya.Â
Sejauh ini, kebijakan social distancing sudah diterapkan, kerumunan tak lagi diperbolehkan, PSBB sudah berjalan, dan sekarang kita tengah menunggu hasil dari semua tindakan yang kita sepakati itu.Â
Nah, bagiamana dengan aksi demo menolak UU Cipta Kerja? Apa yang terjadi pada aksi demo 8 Oktober kemarin tentunya sungguh di luar dari frame solidaritas bersama dalam menangani pandemi Covid-19. Kerumunan tak lagi dibendung.
Kita bisa memprediksi, aksi demo pada Kamis, 8 Oktober kemarin bakal menjadi kluster baru penyebaran virus corona. Alhasil, percuma dong selama ini kita bersusah payah menjaga jarak, memakai masker, cuci tangan, menerapkan PSBB, isolasi diri, dll., tapi ujung-ujungnya mempertontonkan aksi berkerumun. Percuma selama ini kita berkoar-koar dukung pemerintah dan tenaga medis, tapi ujung-ujungnya kita baper dalam kerumun.Â
Maka, pertanyaannya: "Mungkinkah situasi saat ini bisa terjawab dengan kerumun? Apakah demo dengan kerumunan massa membeludak adalah satu-satunya cara kita mengkritik dan mengutarakan pendapat dan rasa tidak puas?"
Kebijakan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, hemat saya, sangat baik dalam menanggapi reaksi publik atas pengesahan UU Cipta Kerja. Sri Sultan mendengar aspirasi massa dan berjanji akan menyampaikan usulan dan pendapat massa dengan menyurati Presiden Jokowi.Â
Inilah salah satu cara bijak bagaimana kita mengutarakan pendapat dan ketidakpuasan kita terhadap sebuah keputusan. Cara-cara demikian, sejatinya bisa dipakai terutama dalam kerangka melawan pandemi virus corona.