Bagaimana laju "fast food" di tengah pandemi Covid-19? Pilihan baru yang dibuat sekarang adalah memperlambat laju sistem penghidangan makanan, yakni yang dulunya serba "fast" menjadi "slow." Ini merupakan sebuah perubahan besar.Â
Ketika orang tak lagi berburu restoran dan makanan cepat saji, cara satu-satunya adalah kembali ke dapur. Di sana orang dipaksa 'tuk masak sendiri, hidang sendiri, dan tentunya mencuci peralatan makan sendiri.
Pandemi Covid-19 sudah lama mengerem laju ritme hidup harian kita. Dari lini kesehatan, bahaya pandemi kemudian menyisir lini ekonomi, pendidikan, agama, hingga gaya hidup.Â
Sebelum Covid-19 merebak, kita hidup dalam beranda tren. Ya, tren benar-benar telah mengubah semua kebiasaan manusia. Mulai dari gaya berpakaian, memilih pasangan hidup, memilih tempat nongkrong, memilih jenis pekerjaan, hingga pilihan makanan diubah karena tren.
Dalam galeri makanan, lagi-lagi karena tren, ada transformasi rapid yang terjadi, yakni dari pola "slow food" menuju "fast food." Hal ini terjadi cukup lama, lebih-lebih saat sebelum pandemi Covid-19 mengancam. Sebelum Covid-19, tren "fast food" meningkat. "Fast food" merupakan desain eksterior dari McDonalisasi.
Ray Kroc (1902-1984) adalah sosok pria jenius di belakang persalinan waralaba restoran McDonald. Di usia yang relatif muda, ia berambisi memasung keinginan konsumen dengan menawarkan konsep restoran cepat saji.Â
Pada awalnya, Kroc memulai konsep McDonald ini di Amerika Serikat. Akan tetapi, dalam waktu yang sangat singkat, McDonalisasi berkembang pesat hampir ke seluruh dunia.
Dari negeri Paman Sam, McDonalisasi melebarkan pasar bisnisnya hingga ke Indonesia. Pada 2010, dikatakan bahwa pendapatan pasar McDonald mencapai $24,1 miliar. Keuntungan yang mencekik leher.
Jika diintip sedikit, pada dasarnya, ciri utama dari McDonald adalah sistem penyajian makanan yang serba cepat. Di Indonesia, ekspansi MCDonald terlihat dari menjamurnya restoran cepat saji. Akan tetapi, bagaimana sekarang ketika Covid-19 mengancam? Masih "fast" atau udah "slow?"
Inilah yang terjadi. Rumah kian gaduh. Dapur yang dulunya hening karena tak ada aktivitas, kini mulai ramai. Mulai terlihat lalu-lalang. Tabung gas mulai terisi dan menyala. Persis semuanya mulai berfungsi.
Sejak diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan karantina wilayah -- dimana semua aktivitas dilakukan di rumah -- kebiasaan makan di luar rumah pun mulai dibatasi dan pelan-pelan hilang. Terpaksa masak sendiri.